PEMBAGIAN HADIS: DARI SEGI KUANTITAS SANAD; MUTAWATIR, MASYHUR DAN AHAD


PEMBAGIAN HADIS: DARI SEGI KUANTITAS SANAD; MUTAWATIR, MASYHUR DAN AHAD
A.   PENDAHULUAN
 Pada hakikatnya umat Islam di dunia sama dengan umat agama lain yaitu sama-sama memiliki kitab sebagai pedoman. Jika umat Kristen memiliki kitab Injil, umat Budha memiiki kitab Weda, dan umat Hindu memiliki kitab Trimurti sebagai pedoman hidup maka umat Islam memiliki al-Quran sebagai pedoman hidupnya. Alquran adalah mukjizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw yang di dalamnya terkandung niali-nilai kebenaran, ketetapan yang mutlak mengenai agama Islam. Namun ada pembahasan dalam al-Quran yang masih bersifat global. Oleh karena itu, muncullah al-Hadits yang berfungsi menyempurnakan dan menjelaskan kitab-kitab terdahulu.
Pada posisi lain, problem lain ialah status Nabi ketika menyampaikan sebuah hadis. Dengan bahasa yang sederhana, ketika Nabi hendak menyampaikan sebuah hadis yang bersifat ucapan atau mengajarkan sesuatu yang bersifat perilaku dan ketetapan status Nabi dalam keadaan sebagai utusan atau sebagai manusia biasa, karena hal tersebut berimplikasi atas cara memahami ajaran tersebut. Ketiak pada hal tersebut status Nabi sebagai utusan, dapat dipastikan bahwa ajaran tersebut melekat dan bahkan wajib dikerjakan, tetapi berbeda halnya ketika status Nabi sebagai manusia baisa, seperti sebagai kepala negara, suami dll. Dimana ajaran tersebut bersifat temporal-lokal yang dapat berkembang bersamaan dengan perkembangan kondisi sosial masyarakat setempat (Suryadi, 2000, hal. 139). Dengan demikian, butuh keahlian khusus untuk memahami hadis-hadis Nabi, supaya terhindar dari kesalahpahaman.
B.   PEMBAGIAN HADIS DARI SEGI KUANTITAS SANAD
Ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadis ditinjau dari segi kuantitas atau jumlah rawi yang menjadi sumber berita ini. Di antara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadis Mutawatir, Masyhur dan Ahad, dan ada juga yang membaginya menjadi dua, yakni hadis Mutawatir dan Ahad. Segolongan ulama ada yang menjadikan hadis Masyhur berdiri sendiri tidak termasuk bagian dari hadis Ahad, ini dianut oleh sebagian ulama ushul.[1]

1.   HADIS MUTAWATIR
Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi, yakni sesuatu yang datang berikut dengan kita atau yangberiring –iringan antara satu dengan lainnya tanpa ada jaraknya.
Jumlah hadis mutawatir relatif jauh lebih sedikit dibanding hadis abad. Akibatnya, apabila pendapat itu diterirna akan banyak ajaran-ajaran Islam yang tergusur dari peredaran. Maka, berangkat dari sini, seorang ulama berasal dari Nejd Saudi Arabia Syeikh Abd alAziz bin Rasyid al-Najdi, dalam kitabnya Radd SJyububat al-Iibad 'an Ahadits al-Ahad, berpendapat bahwa pembagian hadis menjadi mutawatir dan abad adalah bid'ah yang menyesatkan.[2]
Menurut Juynboll dengan segenap potensinya sangat meragukan teori mutawatir yang dibuat para sarjana hadis. Dalam perspektif Juynboll, definisi mutawatir di kalangan sarjana hadis penuh dengan masalah. Menurutnya, pengertian mutawatir dihasilkan dengan penuh persoalan. Formulasinya bahkan mengalami fluktuasi yang tidak sederhana. Konsep tersebut terkadang bisa diaplikasikan untuk hadis tertentu dan dalam konteks tertentu, tetapi tidak dapat diaplikasikan sama sekali untuk hadis-hadis lainnya. Lebih jelasnya, Juynboll menyatakan bahwa terma mutawatir sering digunakan secara bebas, bahkan malah secara salah (the term is often loosely used, some would say wrongly).[3]
Pandangan Abu Hanifah dalam membagi sebuah hadis diselaraskan dengan pemikiran para imam yang lain, dimana beliau meletakkan Hadis Mutawatir sebagai bentuk tertinggi yang diyakini kebenarannya secara mutlak tanpa sikap suspektif dalam melihat validitas hadis tersebut. Hal ini tentu dipengaruhi oleh jumlah kuantitas (al-kammu) perawi yang banyak serta serta ke-’adalahannya, disertai dengan tempat kejadian turunnya (makanu al-wurud) hadis yang pasti. Dari sini alSarakhsy mengatakan dalam Ushul-nya bahwa sesuatu yang telah ditetapkan dengan mutawatir akan menghsilkan ilmu yang pasti (al-’ilmu al-dharury) sebagaimana seseorang melihat kejadian secara langsung (al-mu’ayanah).[4]

2.   HADIS MASYHUR
Predikat Hadis dari Segi Jumlah Riwayat (Saifuddin Zuhri)
Sedang ulama golongan yang lain yang diikuti kebanyakan ulama ushul dan ulama kalam. Menurut mereka, hadis Masyhur bukan merupakan hadis yang berdiri sendiri, akan tetapi bagian dari hadis Ahad. Mereka membagi menjadi dua bagian, Mutawatir dan Ahad (Munzier Suparca dan Ucang Ranuwijaya, 1993: 81). Hasbi As Shiddiqi memberi penjelasan bahwa pembagian hadis menjadi Mutawatir, masyhur dan Ahad adalah dipegangi oleh kebanyakan ahli ushul. Kebanyakan ahli hadis membagi hadis dari segi kemutawatiran dan tidaknya terbagi kepada dua saja yakni Mutawatir dan Ahad. Masyhur mereka masukkan ke dalam Ahad.
          Hadis masyhhur adalah hadis yang terkenal. Dalam mustahalahul hadis, hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh 3 orang rawi atau lebih namun tidak mencapai syarat jumlah rawi dalam hadis mutawatir. Meskipun terkenal dan dihafal oleh banyak orang, jenis hadis masyhur masih belum terjamin keasliannya sebagaimana hadis mutawatir. Artinnya, selama dikenal dan dihafal oleh banyak orang ternyata merupakan hadis yang lemah dan lain sebagaainya. Hadis masyhur jga bermacam-macam. Ada hadis yang masyhur atau terkenal di kalangan uama ushul fiqih, ada hadis yang terkenal dikalangan ulama tafsir, ada hadis yang terkenal dikalangan ulama hadis sendiri, ada hadis yang terkenal dikalangan ulama bahasa dan seterusnya.

3.   HADIS AHAD
Dari segi etimologi, kata Ahad merupakan bentuk jamak yang artinya  satu. Hadis ahad berarti hadis yang diriwayatkan oleh satu orang. Adapun dari segi terminologi, hadis ahad adalah hadis yang dalam periwayatannya tidak sampai kepada batas mutawatir. Pengertian ini mencakup baik dalam satu thobaqoh maupun di setiap thobaqoh, dan mencakup pula hadis yang diriwayatkan oleh dua, tiga orang perawi atau lebih selama tidak sampai kepada batas mutawatir.
Imam Idris al-Syafi’i mendudukkan hadis ahad sebagai hujjah, jika hadis ahad itu diriwayatkan oleh  periwayat yang memenuhi kriteria dhabith. Demikian juga halnya hadis mursal, ialah jika periwayatnya banyak berjumpa dengan sahabat dan sanadnya pun dapat dipercaya. Menurut Imam Syafi’i, posisi hadis mutawatir lebih tinggi dari pada hadis ahad dan hadis mursal.[5]
1.        Hadis masyhur
Hadis masyhur  secara etimologi adalah isim maf‘ul dari ―Syahartu al-Amr. Sedangkan secara terminologi adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih namun tidak sampai kepada batas mutawatir.
2.        Hadis Aziz
 Hadis Aziz secara etimologi artinya yang sedikit/jarang atau bisa juga berarti yang kuat. Dinamakan seperti itu adakalanya karena sedikitnya jumlah hadis aziz atau karena kuatnya hadis dari jalur periwayatan yang lain. Sedangkan hadis aziz menurut terminologi adalah hadis yang dalam semua jalur periwayatannya tidak kurang dari dua orang perawi.
3.           Hadis Gharib
Hadis gharib secara etimologi artinya yang jauh dari tanah air atau yang sukar dipahami. Sedangkan menurut terminologi adalah hadis yang dalam jalur periwayatannya hanya terdapat seorang perawi saja baik dalam setiap thabaqah sanad maupun di sebagiannya.[6]
Pada mulanya sebagian besar ulama hadis tidak menggunakan istilah hadis ahad untuk menunjukkan salah satu pembagian hadis ditinjau dari kuantitas perawinya.
Berdasarkan uraian terdahulu, maka dapat dikatakan bahwa hadis garib merupakan bagian dari hadis ahad. Adapun hadis garib bagian dari hadis ahad, para ulama hadis bersepakat bahwa hadis ahad yang berkualitas sahih dapat dijadikan sebagai hujjah dalam ajaran Islam. Dengan demikian hadis garib juga dapat dijadikan hujjah dalam ajaran Islam dengan ketentuan hadis garib yang berkualitas sahih.[7]
Khatib al-Baghdadi membagi hadis ditinjau dari segi kuantitas perawinya menjadi dua macam, yaitu hadis mutawatir dan ahad. Kemudian ia mendefinisikan hadis ahad adalah sebagai hadis yang tidak mencukupi sifat-sifat hadis mutawatir dan tidak menghasilkan pengetahuan yang pasti (al-‘ilm al-yaqin) walapun diriwayatkan oleh banyak orang.[8]

C.   KESIMPULAN
Ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadis ditinjau dari segi kuantitas atau jumlah rawi yang menjadi sumber berita ini. Di antara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadis Mutawatir, Masyhur dan Ahad, dan ada juga yang membaginya menjadi dua, yakni hadis Mutawatir dan Ahad. Segolongan ulama ada yang menjadikan hadis Masyhur berdiri sendiri tidak termasuk bagian dari hadis Ahad, ini dianut oleh sebagian ulama ushul.
Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi, yakni sesuatu yang datang berikut dengan kita atau yangberiring –iringan antara satu dengan lainnya tanpa ada jaraknya.
Jumlah hadis mutawatir relatif jauh lebih sedikit dibanding hadis abad. Akibatnya, apabila pendapat itu diterirna akan banyak ajaran-ajaran Islam yang tergusur dari peredaran. Maka, berangkat dari sini, seorang ulama berasal dari Nejd Saudi Arabia Syeikh Abd alAziz bin Rasyid al-Najdi, dalam kitabnya Radd SJyububat al-Iibad 'an Ahadits al-Ahad, berpendapat bahwa pembagian hadis menjadi mutawatir dan abad adalah bid'ah yang menyesatkan.
Hadis masyhhur adalah hadis yang terkenal. Dalam mustahalahul hadis, hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh 3 orang rawi atau lebih namun tidak mencapai syarat jumlah rawi dalam hadis mutawatir. Meskipun terkenal dan dihafal oleh banyak orang, jenis hadis masyhur masih belum terjamin keasliannya sebagaimana hadis mutawatir. Artinnya, selama dikenal dan dihafal oleh banyak orang ternyata merupakan hadis yang lemah dan lain sebagaainya. Hadis masyhur jga bermacam-macam. Ada hadis yang masyhur atau terkenal di kalangan uama ushul fiqih, ada hadis yang terkenal dikalangan ulama tafsir, ada hadis yang terkenal dikalangan ulama hadis sendiri, ada hadis yang terkenal dikalangan ulama bahasa dan seterusnya.
Dari segi etimologi, kata Ahad merupakan bentuk jamak yang artinya  satu. Hadis ahad berarti hadis yang diriwayatkan oleh satu orang. Adapun dari segi terminologi, hadis ahad adalah hadis yang dalam periwayatannya tidak sampai kepada batas mutawatir. Pengertian ini mencakup baik dalam satu thobaqoh maupun di setiap thobaqoh, dan mencakup pula hadis yang diriwayatkan oleh dua, tiga orang perawi atau lebih selama tidak sampai kepada batas mutawatir.















DAFTAR PUSTAKA

Afwadzi, Benny, ‘PEMIKIRAN G.H.A. JUYNBOLL TENTANG HADIS MUTAWATIR’, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an Dan Hadis, 12.2 (2011), hlm. 332 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/pemikiran hadis mutawatir.pdf>
ibrohim bustomi, ‘HADIS DALAM PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH’, Saintifica Islamica, 2.2 (2015), hlm. 17 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/hadis masyhur dalam pemikiran abu.pdf>
Izzatus, Sholihah, ‘Kehujjahan Hadis Ahad Dan Pengaruhnya Terhadap Hukum Islam’, Kependidikan Dan Syariah, 4.1 (2016), hlm. 2 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/2-4-1-SM.pdf>
Nasri, M, ‘Kehujjahan Hadis Menurut Imam Mazhab Empat’, Hukum Diktum, 9.1 (2011), hlm. 98 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/hadis masyhur.pdf>
Sulidar, ‘Kedudukan Hadis Garib Sebagai Hujjah Dalam Ajaran Islam’, Analytica Islamica, 3.2 (2014), hlm. 364 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/455-1033-1-SM hadis kuantitas.pdf>
Syahidin, ‘PENOLAKAN HADIS AHAD DALAM TINJAUAN SEJARAH INGKAR SUNNAH’, Tsaqofah & Tarikh, 3.2 (2018), hlm. 180 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/1563-3309-1-SM.pdf>
Yaqub, Ah’ Mustafa, ‘AUTENTISITAS DAN ORIENTASI HADIS DALAM KHAZANAH KEILMUAN ULAMA MUSLIM DAN SARJANA BARAT’, TARJIH, 1.7 (2004), hlm. 37 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/58-111-1-SM.pdf>
Zuhri, Saifuddin, ‘PREDIKAT HADIS DARI SEGI JUMLAH RIWAYAT DAN SIKAP PARA ULAMA TERHADAP HADIS AHAD’, SUHUF, Vol. 20.1 (2008), hlm. 55 <c:/Users/DELL/Downloads/HADIS 6/4. SAIFUDIN ZUHRI.pdf%0D>




[1]Saifuddin Zuhri, ‘PREDIKAT HADIS DARI SEGI JUMLAH RIWAYAT DAN SIKAP PARA ULAMA TERHADAP HADIS AHAD’, SUHUF, Vol. 20, no. 1, (2008), hlm. 55 <c:/Users/DELL/Downloads/HADIS 6/4. SAIFUDIN ZUHRI.pdf%0D>.
[2]Ah’ Mustafa Yaqub, ‘AUTENTISITAS DAN ORIENTASI HADIS DALAM KHAZANAH KEILMUAN ULAMA MUSLIM DAN SARJANA BARAT’, TARJIH, vol. 1, no. 7,  (2004), hlm. 37 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/58-111-1-SM.pdf>.
[3]Benny Afwadzi, ‘PEMIKIRAN G.H.A. JUYNBOLL TENTANG HADIS MUTAWATIR’, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an Dan Hadis, vol. 12, no. 2, (2011), hlm. 332 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/pemikiran hadis mutawatir.pdf>.
[4]ibrohim bustomi, ‘HADIS DALAM PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH’, Saintifica Islamica, vol. 2 no. 2,  (2015), hlm. 17 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/hadis masyhur dalam pemikiran abu.pdf>.
[5]M Nasri, ‘Kehujjahan Hadis Menurut Imam Mazhab Empat’, Hukum Diktum,vol.  9, no. 1 (2011), hlm. 98 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/hadis masyhur.pdf>.
[6]Sholihah Izzatus, ‘Kehujjahan Hadis Ahad Dan Pengaruhnya Terhadap Hukum Islam’, Kependidikan Dan Syariah, vol. 4, no. 1,  (2016), hlm. 2 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/2-4-1-SM.pdf>.
[7]Sulidar, ‘Kedudukan Hadis Garib Sebagai Hujjah Dalam Ajaran Islam’, Analytica Islamica, vol. 3, no. 2,  (2014), hlm. 364 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/455-1033-1-SM hadis kuantitas.pdf>.
[8]Syahidin, ‘PENOLAKAN HADIS AHAD DALAM TINJAUAN SEJARAH INGKAR SUNNAH’, Tsaqofah & Tarikh, vol.3, no. 2,  (2018), hlm. 180 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/1563-3309-1-SM.pdf>.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH KODIFIKASI HADIS: PEMBUKUAN HADIS ABAD II, III, IV, V H DAN SAMPAI SEKARANG

Ilmu Al-Jarh wa Ta’dil : Pengertian, Objek Pembahasan dan Lafaz-lafaz serta Maratib Al-Jarh wan Ta’dil

HADIS MAUDHU : PENGERTIAN, SEJARAH KEMUNCULAN DAN FAKTOR MELATAR BELAKANGINYA, KRITERIA HADIS MAUHDU