Ilmu Al-Jarh wa Ta’dil : Pengertian, Objek Pembahasan dan Lafaz-lafaz serta Maratib Al-Jarh wan Ta’dil
Ilmu
Al-Jarh wa Ta’dil : Pengertian, Objek Pembahasan dan Lafaz-lafaz serta Maratib
Al-Jarh wan Ta’dil
A. Pendahuluan
Kedudukan
hadis (al-Sunnah) sebagai sumber ajaran Islam setelahAlquran. Sudah tidak
diperselisihkan lagi oleh para ulama. Berhujjah dengan hadis shahih jelas tidak
diperdebatkan lagi, bahkan demikianlal! yang semestinya. Namun bagaimana
menentukan kesahihan suatu hadis merupakan kajian yang tidak sederhana. Suatu
hal yang pasti ada jarak waktu yang panjang antara masa kehidupan Rasulullah
dengan masa penulisan dan pembukuan suatu hadis.[1]
Untuk
meneliti keshahihah suatu hadis dalam ilmu hadis dikembangkan dua cabang ilmu
yakni ilmu hadis riwayat : yang obyek kajiannya ialah bagaimana cara menerima,
menyampaikan kepada orang lain dan meuiindahkan atau mendewankan dalam suatu
diwan hadis. Dalam menyampaikan dan
mendewakan hadis dinukilkan dan dituliskan apa adanya baik mengenai
matan maupun sanadnya.
Ilmu ini tidak membicarakan hal ibwal sifat
parawi yang berkenaan dengan adil, dhabith atau fasiq yang dapat berpengaruh
terhadap shahih tidaknya suatu hadis. Perihal perawi merupakan obyek kajian
ilmu hadis diroyah. Karena kedudukan perawi sangat penting dalam menentukan
keshahihan suatu hadis, maka ilmu hadis diroyah, membahas secara khusus keadaan
perawi. Jalan untuk mengetahui keadaan perawi itu adalah melalui ilmu al-Jarh
Wa al-Ta'dil.[2]
B. Pengertian al-Jarh Wa al-Ta'dil
1.
Pengertian
al-Jarh Wa al-Ta'dil secara Bahasa
Secara
bahasa, dengan memfathah-kan
huruf jim (dibaca ja) jarh
artinya adalah akibat atau bekas luka pada tubuh disebabkan oleh
senjata. Kalau di-dhammah-kan
(dibaca ju) jurh dikatakan
sebagai isim dari kata kerjanya.Ada pula yang mengatakan jurh berkaitan dengan
jasmani yang diakibatkan oleh senjata, sedangkan jarh adalah akibat perkataan, yang
menimbulkan bekas secara maknawi atau mengenai sisi kehormatan seseorang.
Secara
Jughawi lafad al jarh adalah mashdar
berarti "melukai sebagian badan yang memungkinkan darah dapat
cepat mengalir" (Al-Abb Lowes
Ma'luf, 1935: 83), selanjumya dikatakan bahwa al-jarh mempunyai arti
"mang-'aib-kan seseorang yang oleh karenanya ia menjadi kurang". Di
samping itu juga mempunyai arti menolak seperti dalam kalimat "Hakim itu menolak saksi"
2.
Pengertian
al-Jarh Wa al-Ta'dil secara Istilah
Secara
istilah, jarh adalah
sifat atau keadaan seorang rawi yang menyebabkan ditolak atau dilemahkan
periwayatannya terhadap suatu hadis. Adapun ta’dil
secara bahasa sama artinya dengan taswiyah, yaitu mengukur atau
menimbang sesuatu dengan yang lainnya. Secara istilah mempunyai pengertian yang
sebaliknya dari jarh.[3]
Menurut
'Ajaj aL-Khathib, ilmu jarh dan ta'dil adalah suatu ilmu yang "membahas
hal ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolaknya pcriwayatannya. Secara
lebih tegas Iagi Ahd al Rahman Ibu Hatim al-Razi seperti yang dirulis oleh
Fathurrahman (1968: 168) mendefisikan ilmu jarh dan ta'dil, yakni suaru ilmu
yang membahas tentang jarh dan ta'dil para parawi dengan menggunakan
lafaz-lafaz tertentu dan membahas pula tentang tingkatan-tingkatan lafadz
tersebut dan ilmu al-jarh dan ta'dil ini merupakan salah satu cabang dari ilmu
rijal.[4]
3.
Perbedaan Jumlah Maratib Ta’dil
di Kalangan Ulama Hadis
Berikut
penjelasan maratib ta’dil di kalangan Ulama hadis:
a.
Martabat-Martabat
Ta’dil Menurut al Razi
Para ulama telah banyak menulis
tentang klasifikasi para rawi. Mereka berupaya keras untuk membaginya dan
menjelaskan status-statusnya. Tulisan yang pertama kali sampai kepada kita,
adalah karya tokoh kritikus alImam bin al-Imam Abdurrahman bin Abi Hatim
al-Razi dalam kitabnya yang besar al-Jarh wa ‘al-Ta’dil. Ia telah menyusun
martabat al-Jarh wa al-Ta’dil masing-masing terdiri atas empat martabat, di
antaranya sebagai berikut:
1.
Apabila
dikatakan bagi seseorang bahwa ia Tsiqat, Mutqin, atau Tsabtun, maka ia adalah
orang yang hadisnya dapat dipakai hujah.
2.
Apabila
dikatakan baginya Shuduq, Mahalluhu ash-Shidqu, atau ‘Laa Ba’sa Bih, maka ia
adalah orang yang hadisnya dapat ditulis dan diperhatikan. Ia menempati
tingkatan kedua.
3.
Apabila
dikatakan baginya Syaikh, maka ia menempati tingkatan ketiga, hadisnya dapat
ditulis dan diperhatikan tetapi di bawah tingkatan kedua.
4.
Apabila para ulama mengatakan Shalih hadis, maka
hadisnya dapat ditulis untuk i’tibar.[5]
b.
Martabat-Martabat
Ta’dil Menurut alSuyuthi
Adapun
mengenai martabat ta’dil Imam Suyuthi membaginya atas 6 tingkatan. Hal ini
sebagaimana dalam al-Fiyahnya yang dikutip oleh Muhammad Mahfuzh alTarmasi
dalam kitabnya Manhaj Dzawin Nazhar. Jika pendapat al-Suyuthi di atas diperinci
dan kemudian digabungkan pula dengan pendaat ulama lainnya dalam menilai
martabat ta’dil, maka martabat itu akan tersusun sebagai berikut:
1. Setiap lafal yang
menunjukkan keadilan dan keteguhan rawi, di sini muhadditsin menggunakan
shighat af’al tafdhil atau dengan mempergunakan shighat yang menunjukkan sifat
terpuji yang tiada bandingannya bagi rawi itu. Lafal ta’dil ini merupakan
shighat yang paling tinggi nilainya, kuat dan kokoh kedudukannya dan istimewa
pula martabatnya. Karena itu, rawi yang mendapat julukan ini adalah rawi yang
paling adil, sangat jujut, dan sangat teguh.
2. Setiap lafal yang
menunjukkan kebenaran rawi, keteguhan, ketsiqatan, kejujuran dan keadilannya;
ini dengan mempergunakan lafal yang sama dengan yang sebelumnya atau dengan
mempergunakan kata lain yang semaksud dan semakna dengan makna yang pertama.
Dengan pengulangan lafal yang makin sering dan makin banyak akan menunjukkan
martabat rawi itu lebih kuat dan lebih tinggi nilainya, bila dibandingkan
dengan penilaian yang tidak diulang lafalnya.
3. Setiap lafal yang
menunjukkan kekokohan, keteguhan, keadilan dan kepercayaan rawi. Adakalanya
pula mempergunakan kata-kata pejian yang senilai dengan kekokohan di atas.
Lafal tersebut ialah: Tsiqatun, Muttaqinun, Imaamun, Tsaabitu al-Qalbi wa
al-Lisaan wa al-Hujjati, Haafizhun Dhaabitun.
4. Setiap lafal yang
menunjukkan kepada derajat rawi dengan mempergunakan satu lafal saja, baik
lafal yang menunjukkan keadilan, kekokohan dan kebenaran rawi. Akan tetapi
diberi jaminan bahwa rawi tersebut, kekokohan, keteguhan dan keadilannya itu
sekokoh pada tingkatan sebelumnya. Lafal tersebut ialah: Shaduuqun, Laa Ba’sa
Bihi, Khiyaar anNaas Ma’muunun Laisa Bihi Ba’sun, Khiyaar al-Khalq.
5. Setiap lafal yang
menunjukkan baik, benar dan jujurnyarawi. Dengan tidak menunjukkan bahwa
hafalan, kejujuran dan keadilannya itu dapat dipastikan. Lafal-lafal tersebut
ialah: Shalih hadis, Wasath, Yuktabu Hadiitsuhu, Jayyid alHadis, Syaikh, Muqaarab
hadis.
6. Setiap lafal yang
menunjukkan derajat rawi, dengan mempergunakan suatu lafal dengan lafal
tersebut di atas kemudian diiringi kata-kata yang tidak menunjukkan keteguhan
lafal-lafal itu. Malahan hanya merupakan pengharap saja dari kejujuran dan keteguhan
rawi itu.
4.
Macam-Macam Kaidah al jarh wa
at ta’dil
Kaidah-kaidah jarh dan ta’dil
ada 2 macam:
1) Naqdun Kharijiyun, merupakan kritik yang
datang dari luar hadis (kritik yang tidak mengenai diri hadis). Kritik ini
bersandar kepada cara-cara dalam periwayatan hadis, shahnya periwayatan,
keadaan perawi dan kadar kepercayaan kepada mereka.
2) Naqdun Dakhiliyun, merupakan kritik dari
dalam hadis, yaitu berpautan dengan hadis itu sendiri apakah maknanya sahih
atau tidak dan apa jalan-jalan keshahihannya dan ketiadaan keshahihannya.
Tiadalah
diterima suatu pencacatan, melainkan dengan adanya sesuatu yang benar-benar
mencacatkan. Ibnu Hadjar dalam muqaddimah Fathul Bari berkata “Tiadalah
diterima pencacatan terhadap seseorang terkecuali dengan ada sesuatu yang
terang mencacatkan, karena mencacatkan seseorang berbeda-beda, dan semuanya
berkisar sekitar perkara yang lima ini, yaitu: bid’ah, menyalahi orang lain,
kekhilafan, tidak diketahui keadaan si perawi, ada tuduhan bahwa sanadnya
munqathi’, seperti dikatakan bahwa perawi itu mentadlis atau mengirsal. Bid’ah
yang disifatkan perawi, adakalanya bid’ah yang mengkafirkan, adakalanya
memfasikkan. Dan haruslah bid’ah yang mengkafirkan itu adalah bid’ah yang
disepakati oleh semua imam, seperti orang-orang Rafidli. Sedangkan bid’ah yang
memfasikkan misalnya orang-orang Khawarij.[6]
Mengenai
perlainan riwayat dengan perawi-perawi lainnya karena riwayat dipandang syadz
dan mungkar. Maka apabila seseorang yang kuat ingatannya dan bersifat benar
meriwayatkan sesuatu, sedang riwayat orang yang lebih hafal dari padanya atau
lebih banyak bilangan berlawanan dengan riwayatnya dan tak dapat dikumpulkan,
maka riwayatnya disebut syadz. Dan terkadang-kadang perlainan itu sangat berat
atau yang meriwayatkan itu seorang yang lemah hafalannya, maka riwayatnya
dinamakan munkar.
Mengenai
kekhilafan, maka kadang-kadang banyak terjadi kekhilafan dan terkadang-kadang
tidak banyak. Maka kalau dia banyak kekhilafan hendaklah diperhatikan riwayat-riwayat
orang yang lain, jika ada dapatlah kita menetapkan bahwa yang kita pegangi,
ialah asal hadis, karena ada diriwayatkan juga dari orang lain. Jika tidak
diperoleh jalan yang lain maka hendaklah kita tinggalkan riwayatnya. Mengenai
orang yang tidak diketahui keadaannya, maka hendaklah ditinggalkan hadisnya
hingga jelas keadaannya, apakah diterima atau ditolak. Dan janganlah terkicuh
dengan pencacatan-pencacatan yang dilakukan oleh sebagian ulama terhadap
sebagian yang lain lantaran perbedaan aqidah.
5. Objek atau Sasaran Pokok Ilmu Al-Jarh Wa Ta’dil
Sasaran
pokok dalam mempelajari ilmu al-jarh wa ta’dil adalah sebagai berikut:
a)
Untuk menghukumi dan mengetahui status perawi
hadis.
b)
Untuk mengetahui kedudukan hadis atau martabat
hadis, karena tidak mungkin mengetahui status suatu hadis tanpa mengetahui
kaidah ilmu al-jarh wa ta’dil
c) Mengetahui syarat-syarat perawi yang maqbul.
Bagaimana keadilannya, ke-dlabitan-nya serta perkara yang berkaitan
dengannya.[7]
G. Tingkatan-tingkatan Jarh wa
Ta’dil
a.
Tingkatan Ta’dila.
Dalam melakukan jarh, para ulama telah
menetapkan adanya beberapa tingkatan, antara lain:
-
Tingkatan pertama, yakni para
shahabat. Di sini terdapat satu jargon yang cukup terkenal: kullu shahabat
‘udul (semua shahabat adalah adil).
-
Tingkatan kedua, yakni tingkatan
orang-orang yang direkomendasikan para ulama dengan menggunakan
ungkapanungkapan yang hiperbolis, misalnya awtsaqu al-nas (manusia paling
tsiqqah), adhbath al-nas (manusia paling cerdas), ilayhi muntaha altatsbit
(dialah puncak kesahhahihan), dan lain-lain.
-
Tingkatan ketiga, yakni tingkatan
orang-orang yang dipuji para ulama dengan ungkapan ganda yang berbeda, misalnya
tsabat harbefizh (kuat lagi hafal), tsiqqah tsabat (tsiqqah lagi kuat), dan
lain-lain; atau dengan satu ungkapan yang diulang, misalnya tsiqqatu tsiqqah,
dan lain-lain. Pengulangan ungkapan yang paling banyak adalah yang dilakukan
Ibnu ‘Uyaynah ketika memberikan penilaian terhadap ‘Amr bin Dinar. Ibnu
‘Uyaynah berkata, “Dia itu tsiqqah, tsiqqah, tsiqqah, tsiqqah…., (hingga
sembilan kali).”
-
Tingkatan keempat, yakni tingkatan
orang-orang yang dipuji para ulama dengan memakai satu ungkapan yang
menunjukkan bahwa orang yang bersangkutan adalah tsiqqah, misalnya dengan
kata-kata tsabat, hujjah, ka annahu mushaf, ‘adil, dhabit, qawi, dan lain-lain.
Tingkatan kelima, yakni tingkatan orang-orang yang dikomentari para ulama
dengan ungkapan-ungkapan seperti la ba’sa bih, laysa bihi ba’s (tidak apa-apa),
shuduq (jujur), khiyar al-khalq (orang pilihan), dan lain sebagainya.
-
Tingkatan kelima, yakni tingkatan
orang-orang yang dikomentari para ulama dengan ungkapan-ungkapan yang lebih
dekat kepada celaan, misalnya dengan kata-kata laysa bi ba’id ‘an alshawab (ia
tidak jauh dari kebenaran), yurwa haditsuhu (haditsnya diriwayatkan), ya’tabiru
bihi (ia haya diapakai untuk i’tibar), dan lain sebagainya.
b.
Tingkatan Ta’dil
Sebagaimana
ta’dil yang menggunakan banyak ragam ungkapan, jarh juga sama, yakni
menggunakan ungkapan yang berbeda-beda. Berikut ini tingkatan-tingkatan jarh
dari yang paling ringan (agak mendingan) hingga yang paling parah.
-
Pertama, tingkatan para perawi yang
dikomentari para ulama dengan unkapan-ungkapan seperti fihi maqal (ada yang
diperbincangkan dalam dirinya), fihi adna maqal (apa yang diperbincangkan
adalah sesuatu yang paling rendah), laysa bi alqawi, laysa bi al-matin (tidak
kuat), laysa bi hujjah (tidak bisa dipakai hujjah), laysa bi al-hafizd (bukan
orang hafidz), dan lain-lain.
-
Kedua, tingkatan yang lebih buruk dari
tingkatan di atasnya, yakni para perawi yang dikomentari para ulama dengan ugkapan-ungkapan
seperti la yuhtaju bihi (ia tidak dibutuhkan), mudhtharib al-hadits (hadisnya
kacau), lahu ma yunkaru (haditsnya dingkari para ulama), hadis munkar (hadisnya
munkar), lahu manakir (ia punya hadis-hadis munkar), dhaif (lemah), atau
munkar menurut selain al-Bukhari, sebab
al-Bukari sendiri pernah berkata, “Setiap perawi yang aku komentari sebagai
munkirul hadits, maka tidak halal meriwayatkan hadits darinya.
-
Ketiga, tingkatan yang lebih buruk
dari tingkatan di atasnya, yakni para perawi yang dikomentari para ulama dengan
unkapanungkapan seperti fulan rudda haditshuhu (ia ditolak haditsnya), mardud
al-hadits (haditsnya ditolak), dhaif jiddan (sangat lemah), la yuktab
haditshusu (haditsnya tidak boleh ditulis), mathruh al-hadis (hadits yang
diriwayatkannya harus dibuang), mathruh (dibuang), la tahillu kitabah haditsuhu
(tidak halal menulis haditsnya), laysa bi syai’in (tidak ada apa-apanya), la
yastasyhidu bi hadisihi (hadisnya tidak boleh dipakai sebagai penguat), dan
lain-lain.
-
Keempat, tingkatan yang lebih buruk
dari tingkatan di atasnya, yakni para perawi yang dikomentari para ulama dengan
unkapanungkapan seperti fulan yasyriq al-hadis (ia telah mencuri hadits),
muttaham bi al-kidzb (dituduh sebagai seorang pendusta), muttaham bi al-wadh’
(dituduh sebagai seorang pemalsu), saqith (perawi yang gugur), dzahib al-hadis
(haditsnya hilang), majma’ ‘ala tarkihi (para ulama telah sepakat untuk
meninggalkannya), halik (perawi yang binasa), huwa ‘ala yadai ‘adlin (ia berada
di depan orang yang adil), dan lain-lain.[8]
H. Kesimpulan
Hadis
merupakan sumber kedua hukum syarak selepas al-Quran. Para ulama sejak zaman
awal Islam sangat mengambil berat tentang segala perkara yang berkaitan dengan
hadith, sama ada dari sudut periwayatan, pengumpulan, penulisan, pemahaman
maknanya serta pengelasan hadith menurut kategori tertentu.[9]
Secara
bahasa, dengan memfathah-kan
huruf jim (dibaca ja) jarh
artinya adalah akibat atau bekas luka pada tubuh disebabkan oleh
senjata. Kalau di-dhammah-kan
(dibaca ju) jurh dikatakan
sebagai isim dari kata kerjanya.Ada pula yang mengatakan jurh berkaitan dengan
jasmani yang diakibatkan oleh senjata, sedangkan jarh adalah akibat perkataan, yang
menimbulkan bekas secara maknawi atau mengenai sisi kehormatan seseorang.
Secara
Jughawi lafad al jarh adalah mashdar
berarti "melukai sebagian badan yang memungkinkan darah dapat
cepat mengalir" (Al-Abb Lowes
Ma'luf, 1935: 83), selanjumya dikatakan bahwa al-jarh mempunyai arti
"mang-'aib-kan seseorang yang oleh karenanya ia menjadi kurang". Di
samping itu juga mempunyai arti menolak seperti dalam kalimat "Hakim itu menolak saksi"
Daftar Pustaka
Akhmad Syafi’i
Ma’arif, AL JARH WA AT TA’DIL, 2016
ARIFIN JOHAR,
‘Pendekatan Ulama Hadis Dan Ulama Fiqh Dalam Menelaah Kontroversial Hadis’, USHULUDDIN,
Vol XXII.No 2 (2014), Hlm151 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/FUNGSI HADIS
TERHADAP ALQURAN I.pdf>
Dil, Al-jarh W A
Al-ta, ‘Al-Jarh Wa Al-Ta’dil’, Alqalam, vol 10 no (1995), 24
Ezra, Michael,
‘Muhammad Ali’, Muhammad Ali, vol 7 no 1 (2009), 2
<https://doi.org/10.2307/j.ctv3znxjk.26>
Hanapi, Mohd Shukri,
‘PENGAPLIKASIAN KAEDAH HADITH AL-MAWDU ‘ IY DALAM PENYELIDIKAN Abstrak Applying
the Thematic Hadith Method in Research Related to Islam Abstract’, 1.October
(2016), 132–42
Imron, Ali,
‘Dasar-Dasar Ilmu Jarh Wa Ta’dil’, Mukaddimah: Jurnal Studi Islam, Vol.
2.No. 2 (2017), hlm 298
Redaksi, Al-Jarh Wa
At-Ta’dil, Upaya Menjaga Kemurnian Syariat, 14th edn (Asy Syariah, 2019)
Zain, Mina Mudrikah,
‘PERBEDAAN MARATIB TA’DIL DI KALANGAN ULAMA HADIS’, Ilmu Hadis, vol 2 no
1.September (2017), hlm 16
Zolkapli, Mohd Ikhwan,
Mohamad Rizal, Kolej Universiti, Islam Sultan, and Azlan Shah, ‘Metodologi
Penulisan Teks Hadith’, Perspektif, Vol 8 no 1 (1985), hlm 1
[1]ARIFIN JOHAR, ‘Pendekatan Ulama Hadis Dan Ulama Fiqh
Dalam Menelaah Kontroversial Hadis’, USHULUDDIN,
Vol XXII.No 2 (2014), Hlm151 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/FUNGSI HADIS
TERHADAP ALQURAN I.pdf>.
[2]Al-jarh W A Al-ta Dil, ‘Al-Jarh Wa Al-Ta’dil’, Alqalam, vol 10 no 2 (1995), hlm 24,
<1515-313-3654-1-10-20190215.pdf>.
[3]Redaksi, Al-Jarh Wa At-Ta’dil, Upaya
Menjaga Kemurnian Syariat, 14th edn (Asy Syariah, 2019), <
asysyariah.com/al-jarh-wa-at-tadil-upaya-menjaga-kemurnian-syariat/>.
[4] Al-jarh W A Al-ta Dil, ‘Al-Jarh Wa Al-Ta’dil’, Alqalam, vol 10 no (1995), hlm 26,
<1515-313-3654-1-10-20190215.pdf>.
[5]Mina Mudrikah Zain, ‘PERBEDAAN MARATIB TA’DIL DI KALANGAN ULAMA HADIS’, Ilmu Hadis, vol 2 no 1.September (2017),
hlm 16, <2492-6599-1-SM,pdf>.
[6]Michael Ezra, ‘Sejarah Dan Kedudukan Sanad Dalam Hadis Nabi’, Tahdis, vol 7 no 1 (2009), 2
<https://doi.org/10.2307/j.ctv3znxjk.26> <7191-18150-1-SM.pdf>.
[7] Mohd Shukri Hanapi, ‘PENGAPLIKASIAN KAEDAH HADITH AL-MAWDU ‘ IY DALAM
PENYELIDIKAN Abstrak Applying the Thematic Hadith Method in Research Related to
Islam Abstract’, vol 1 no 2 (2016), hlm 132–42,
<23-Article-68-1-10-20180122,pdf>.
[8]Ali Imron, ‘Dasar-Dasar Ilmu Jarh Wa Ta’dil’, Mukaddimah: Jurnal Studi Islam, Vol. 2.No. 2 (2017), hlm 298,
<1371-2832-1-SM,PDF>.
[9]Mohd Ikhwan Zolkapli and others, ‘Metodologi Penulisan Teks Hadith’, Perspektif, Vol 8 no 1 (1985), hlm 1,
<Metodologi Penulisan Teks Hadis.pdf>.
Komentar
Posting Komentar