SEJARAH KODIFIKASI HADIS: PEMBUKUAN HADIS ABAD II, III, IV, V H DAN SAMPAI SEKARANG


SEJARAH KODIFIKASI HADIS: PEMBUKUAN HADIS ABAD II, III, IV, V H DAN SAMPAI SEKARANG

A.   PENDAHULUAN
Hadis atau yang lebih dikenal dengan sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan dan peran hadis sebagai salah satu sumber ajaran islam yang diakui oleh mayoritas madzhab, tidak dapat dinafikan.
Demikian keberadaan Alhadis dalam proses tadwin (kodifikasi) nya sangat berbeda dengan Alquran. Sejarah hadis dan periodesasi penghimpunannya lebih lama dan panjang masa nya dibandingkan dengan Alquran. Hadis butuh waktu 3 abad untuk pentadwinannya secara menyeluruh .
Perkembangan dan pengkodifikasian hadis dibagi menjadi 5 masa yaitu masa Nabi Muhammad Saw, pada masa sahabat, tabiin, tabi’ tabi’in, dan periode setelah tabi’ tabi’in. perkembangan hadis pada masa awal lebih banyak menggunakan lisan, dikarenakan larangan Nabi untuk menulis hadis. Larangan tersebut berdasarkan kekhawatiran Nabi akan tercampirnya nash Alquran dengan hadis. Selain itu, juga disebabkan fokus Nabi pada para sahabat yang bisa menulis untuk menulis Alquran. Banyak sekali lika-liku dalam sejarah pengkodifikasan hadis yang berlangsung pada waktu itu.
B.   SEJARAH KODIFIKASI HADIS
At Tadwin atau Kodifikasi hadits menurut bahasa adalah pendewanan hadits atau pembukuan hadits. Sedangkan menurut terminologi artinya pengumpulan dan penyusunan hadits  yang secara resmi didasarkan perintah khalifah dengan melibatkan beberapa personil, yang ahli dalam masalah ini, bukan yang dilakuan secara peseorangan seperti yang terjadi di masa-masa sebelumnya. Sebagaimana Al-Quran, hadits juga mengalami proses panjang dalam pembukuannya.[1]
Adapun yang dimaksud dengan kodifikasi hadis pada periode ini adalah pembukuan hadis secara resmi yang diabadikan dalam bentuk tulisan atas perintah seorang pemimpin kepala Negara dengan melibatkan orang-orang yang mempunyai keahlian dibidangnya. Tidak seperti kodifikasi yang terjadi pada masa Rasulullah Saw yang dilakukan secara individu atau untuk kepentingan pribadi.
Perlu pembedaan antara sunnah dan hadis. Dengan mempertimbangkan ciri konsep sunnah, maka hadis sangat serupa dengan al-Quran. Di mana, material hadis harus dipahami dalam konteks praktik aktual Nabi Muh}ammad. Hadis sahih sangat berpeluang untuk dikritisi jika hadis tersebut dinilai bertentangan dengan sunnah aktual dan hadis-hadis lainnya.[2] Periode penulisan dan kodifikasi resmi (permulaan abad ke II H); 5). Periode pemurnian, penyihatan, dan penyempurnaan (awal abad ke III H – akhir abad ke III H); 6). Periode penerbitan, pemeliharaan, penambahan, dan penghimpunan (awal abad IV H- jatuhnya kota Baghdad); 7). Periode penyarahan, perhimpunan, pengtakhrijan, pembahasan (656 H-sekarang).[3]
Usaha mempelajari kodifikasi (pembukuan) hadits diharapkan dapat mengetahui sikap diadakan tindakan umat islam yang sebenarnya, khususnya para ulama ahli hadis, terhadap hadis serta usaha pembinaan dan pemeliharaan mereka pada tiap-tiap periodenya sampai akhirnya terwujud kitab-kitab hasil tadwin secara sempurna. Perjalanan hadis pada tiap-tiap periodenya mengalami berbagai persoalan dan hambatan yang dihadapinya, yang antara satu periode dengan periode lainnya tidak sama, maka pengungkapan sejarah persoalannya perlu diajukan ciri-ciri khusus dan persoalan-persoalan tersebut.

1.   PEMBUKUAN HADIS PADA ABAD II,III,IV,DAN V H

a.    Pembukuan Hadis Pada Abad II H
Secara garis besar, pola penyusunan kitab Hadis yang berkembang pada kurun waktu abad II H sampai dengan abad IV H dapat dipolakan menjadi empat bentuk metode penulisan kitab Hadis, yaitu: sunan, mushannaf, jâmi‘, dan musnad. Tiga model yang pertama pada hakikatnya berada pada wilayah yang sama yaitu mengakomodasi kepentingan fikih yang memang menjadi kebutuhan dan lebih dapat diterima masyarakat Islam pada umumnya. Munculnya kitabkitab Hadis yang bercorak fiqhî mulai abad II H yang kemudian dikenal dengan sebutan sunan menjadi pertanda menguatnya pengarusutamaan fikih yang terjadi di kalangan masyarakat Islam pada saat itu. AlKattânî menyebutkan bahwa sunan adalah kitab Hadis yang disusun berdasarkan urutan tema-tema fikih dan (secara umum karena faktanya, terdapat beberapa Hadis yang dinilai mawqûf di dalam kitab-kitab sunan) tidak memuat riwayat-riwayat yang dinilai mawqûf.[4]
Terdorong oleh kemauan keras untuk mengumpulkan hasil periode awal kodifikasi, pada umumnya para ulama dalam membukukannya tidak melalui sistematika penulisan yang baik, dikarenakan usia kodifikasi yang reatif masih muda sehingga mereka belum sempat menyeleksi antara hadis nabi dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, bahkan lebih jauh dari itu mereka belum mengklasifikasi hadis menurut kelompok-kelompoknya. Kitab sunan Imam Malik (92-179 H/ 12-798 M), al-Muwaththa’ yang merupakan kitab kumpulan atau koleksi hadis paling tua (disusun pada pertengahan awal abad ke II H.) tidak hanya memuat hadis Nabi saja tetapi juga fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in.[5] Perkembangan  hadis mulai sejak abad II Hijriyyah, yakni sejak dikeluarkannya perintahan resmi dari khilafah Umar bin Abdul Aziz dalam membukukan hadis. Pertama, fase ahli hadis, para ahli dalam menyusun kitab-kitab hadis juga mengunakan ayat-ayat al-Qur’an, atsar-atsar sahabat dan tabi’in, di semua kota besar yang masuk dalam daerah Islam ada ahliahli hadisnya yang terkenal. Kedua, fase sampai awal abad III Hijriyah. Dalam fase ini kitab-kitab hadis, khusus hanya memuat hadis Nabi saja, mulai ada. Susunan Hadis yang termaktub dalam beberapa kitab hadis ada yang berdasarkan nama sahabat periwayat. Ketiga, fase pada abad II Hijriyah dan seterusnya. Dalam fase ini, merupakan perkembangan hadis lebih kepada penulisannya, pengkajian dan pembahasan, telah mencapai puncaknya yang tertinggi. Ilmu-ilmu hadis pada masa ini telah mengalami perkembangan yang pesat.[6]
 Dengan demikian karya ulama pada periode ini masih bercampur aduk rata hadis dengan fatwa sahabat dan tabi’in, bahwa kitab-kitab hadis karya ulama-ulama pada masa ini belum dipiah-pilahantara hadis marfu’ mauquf, dan maqthu’, dan diantara hadis shahih, hasan dan dha’if.
Pada abad II H ini pula mulai diadakan pemisahan antara hadis tafsir dan hadis padaumumnya, juga pemisahan hadis sirah dan magaziy. [7]

b.   Pembukuan Hadis Pada Abad III H
Abad ke III merupakan abad didalam periode ke lima. Maka abad ke III H kegiatan pentashihan hadis Nabi mulai dilakukan dengan sistematis, yakni pembukuan hadis yang semata-mata hadis Nabi saa, tidak dicampuri dengan fatwa sahabat atau thabi’in. ulama yang mempelopori kegiatan ini adalah ishaq ibnu rahawaih. Kemudian dilanjutkan oleh alBukhari, Muslim, Abu Dawud, alTurmudzi, alNas’I, Ibnu majah dan lain-lain. Dari usaha penyelesian tersebut maka terciptalah pula syarat-syarat perawai yang terdiri dari berbagai segi, yakni keadilan, tempat, kediaman, masa dan lain-lain.
Dari tokoh-tokoh hadits abad ke-3 inilah pada perkembangan berikutnya muncul ilmuan-ilmuan hadits sekaliber al-Bukhori, al-Darimi, Abu Hatim al-Razi, yang karena kontribusi intelektual merekalah hadits maupun ilmu hadits maupun ilmu hadits menemukan elanvital-nya sebagai hasanah pola pikir para cerdik cendekiawan dimasa- masa berikutnya.
Pada masa penyeleksian atau penyaringan hadis ini terjadi pada zaman pemerintahan Bani Abbasiyah, yakni pada masa tadwin belum bisa memisahkan hadis mauquf dan maqtu’ dan hadis marfu’. Mereka kemudian membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk menentukan apakah hadis itu shahih atau dhaif. Para perawipun tidak luput dari sasaran penelitian mereka untuk diselidiki kejujurannya, kehafalannya dan lain sebagainya. Periode ini berlangsung pada masa pemerintahan khalifah Alma’mun sampai pada awal pemerintahan khalifah Almuqtadir dari kekhalifahan dinasti abbasuyah. Pada masa ini para ulama memusatkan perhatian mereka pada pemeliharaan keberadaan dan terutama kemurnian hadis Nabi Saw sebagai antisipasi mereka terhadap pemalsuan hadis yang semakin marak.

c.    Pembukuan Hadis Pada Abad IV dan V H Sampai Sekarang
Setelah berakhirnya kodifkasi hadis pada masa atba’ atba’ al tabi’in proses pengumpulan hadis masih terus berlanjut. Paling tidak abad IV hingga abad V , di kalangan orang-orang yang bermadhhab Aswaja, telah disusun beragam kitab hadis dengan metode dan materi yang beragam. [8]
Pada peride ini dinamakan masa menghafal dan mengisnadkan. Penghimpunan hadis disertai pemeliharaannya tetap dilakukan walau tidak sebanyak yang sebelumya. Hanya saja hadis-hadis yang dihimpun tidaklah sebanyak sebelum periode ini. Didalam era ini jenis kitab-kitab hadis Nabi Saw mencakup sebagian besar kitab-kitab hadis yang sifatnya mengumpulkan kitab-kitab hadis yang telah dihimpun dalam kitab-kitab hadis Nabi Saw sebelumnya. Kegiatan hadis pada periode ini banyak dilakukan dengan cara lisensi atau sertifikat dari guru untuk murid untuk mendapatkan izin meriwayatkan hadis dan muktabah (pemberian catatan hadis dari gurunya.
Sepeninggal periode khalifah Abasiyyah ke XVII Al-Mu’tashim (w. 656 H). Periode hadits dimasa tersebut dinamakan ‘Ashr al- Syarh wa alJami’ wa Al-Takhrij wa Al-Bahts, periodesasi hadits memasuki masa pensyarahan, penghimpunan, pentakhrijan, dan pembahasan. Penulisan ilmu hadis ini berlanjut hingga masuk masa kematangan dan kesempurnaan pembukuan ilmu hadis pada abad ke VII hingga pada abad ke X. Pada masa ini, karya-karya seputar ilmu hadis banyak ditulis dan lebih disederhanakan. Selanjutnya kajian ‘Ulum alHadis mencapai tingkat kesempurnaannya dengan ditulisnya sejumlah kitab yang mencakup seluruh cabang ilmu hadis. Bersama itu dilakukan juga penghalusan sejumlah ungkapan dan penelitian berbagai masalah dengan mendetail. Sebelum beranjak lebih dalam, penulis akan sedikit mengulas tentang sejarah penamaan dekade kontemporer. Kata kontemporer merupakan penisbatan pada zaman. Dalam kamus Oxford Learner’s Pocket Dictionary dijelaskan, ada dua pengertian dari contemporary. Pertama belonging to the same time (termasuk waktu yang sama), dan yang kedua, of the present time; modern (waktu sekarang atau modern). Dalam bahasa Indonesia, kontemporer adalah pada masa kini. Menurut Ahmad Syirbasyi yang dimaksud dengan periode kontemporer ialah sejak abad ke 13 hijriah atau akhir abad ke-19 Masehi sampai sekarang ini.
Perkembangan studi hadits sempat terkendala sejak tahun 656 H hingga 911 H, karena diakibatkan oleh kejumudan umat Islam hingga waktu itu, sampai akhirnya perkembangan hadis tahun 656 H hingga 911 H mengalami perkembangan kembali dan sudah sampai menerbitkan isi kitab-kitab hadis, menyaringnya serta menyusun kitab-kitab takhrij. Melihat perkembangan Hadits di era sebelumnya yang tidak begitu signifikan, maka perkembangan hadits mulai di galakan kembali oleh para ilmuwan hadits dengan sebuah kemasan menarik, hal inilah yang membuat para ilmuan hadits ingin memasukan kajian hadits dalam era digital hal ini guna mengembangkan studi hadits di era yang sudah memasuki globalisasi, dengan mengembangkan keberadaan internet maka tampak hadits akan terlihat menarik, hal ini sebagaimana melihat manfaat internet yang dapat mempermudah tata kerja dan mempercepat suatu proses suatu pekerjaan, sehingga segala sesuatu dapat ditemukan dengan cara praktis dan cepat. [9] Hal ini, juga telah terdahulu dijelaskan oleh Muhammad alfatih Suryadilaga, Menurutnya memasuki era kekinian, disaat peradaban manusia sudah berkembang semakin pesat. Mencermati ungkapan seorang akademi hadits yang produktif di era pasca milenium tersebut, maka sudah sepatutnya kita sebagai regenarasi selanjutnya memanfaatkan era global dengan kajian hadits.
Adapun para ulama hadis Indonesia pada paruh pertama abad XX, menurut catatan Daud Rasyid Harun, seorang doktor alumni Timur Tengah, bahwa para ulama hadis Indonesia pada masa kurun awal itu banyak sekali, tercatat sebanyak 69 orang. Namun Daud Rasyid tidak menjelaskan secara langsung batasan apa yang dipakainya sehingga seorang ulama itu termasuk ahli hadis. Barangkali Daud Rasyid memakai batasan yang paling umum tentang kriteria ulama tempo dulu, yang biasanya keluasan ilmunya sangat mumpuni, yang hampir saja menguasai berbagai cabang keilmuan Islam yang sangat banyak itu.Misalnya seorang ulama Indonesia tempo dulu itu bukan saja ahli tafsir dan fiqh, tetapi dia juga sangat menguasai hadis, walaupun tidak menyebarkan pengetahuannya itu melalui buku-buku yang ditulisnya, sehingga tercatatlah para ulama ahli hadis di Indonesia sebanyak itu.[10]
 Karena melihat perkembangan hadits sendiri yang sekarang sudah ber era digital maka sudah semestinya kita harus mengetahui bagaimana cara memanfaatkan hal itu, terlebih para akademi-akademisi tersebut sudah sebegitu bersemangat mengembangkan kajian hadits di era digital ini. Peran kita sebagai regenerasi hanyalah memaksimal mungkin dan mengembangkanya guna mengembangkan hirroh kajian hadits menuju era ke-emasan kembali.

C.   KESIMPULAN

At Tadwin atau Kodifikasi hadits menurut bahasa adalah pendewanan hadits atau pembukuan hadits. Sedangkan menurut terminologi artinya pengumpulan dan penyusunan hadits  yang secara resmi didasarkan perintah khalifah dengan melibatkan beberapa personil, yang ahli dalam masalah ini, bukan yang dilakuan secara peseorangan seperti yang terjadi di masa-masa sebelumnya.
Secara garis besar, pola penyusunan kitab Hadis yang berkembang pada kurun waktu abad II H sampai dengan abad IV H dapat dipolakan menjadi empat bentuk metode penulisan kitab Hadis, yaitu: sunan, mushannaf, jâmi‘, dan musnad. Tiga model yang pertama pada hakikatnya berada pada wilayah yang sama yaitu mengakomodasi kepentingan fikih yang memang menjadi kebutuhan dan lebih dapat diterima masyarakat Islam pada umumnya. Munculnya kitabkitab Hadis yang bercorak fiqhî mulai abad II H yang kemudian dikenal dengan sebutan sunan menjadi pertanda menguatnya pengarusutamaan fikih yang terjadi di kalangan masyarakat Islam pada saat itu. AlKattânî menyebutkan bahwa sunan adalah kitab Hadis yang disusun berdasarkan urutan tema-tema fikih dan (secara umum karena faktanya, terdapat beberapa Hadis yang dinilai mawqûf di dalam kitab-kitab sunan) tidak memuat riwayat-riwayat yang dinilai mawqûf.
Abad ke III merupakan abad didalam periode ke lima. Maka abad ke III H kegiatan pentashihan hadis Nabi mulai dilakukan dengan sistematis, yakni pembukuan hadis yang semata-mata hadis Nabi saw, tidak dicampuri dengan fatwa sahabat atau thabi’in. ulama yang mempelopori kegiatan ini adalah ishaq ibnu rahawaih. Kemudian dilanjutkan oleh alBukhari, Muslim, Abu Dawud, alTurmudzi, alNas’I, Ibnu majah dan lain-lain. Dari usaha penyelesian tersebut maka terciptalah pula syarat-syarat perawai yang terdiri dari berbagai segi, yakni keadilan, tempat, kediaman, masa dan lain-lain.
Setelah berakhirnya kodifkasi hadis pada masa atba’ atba’ al tabi’in proses pengumpulan hadis masih terus berlanjut. Paling tidak abad IV hingga abad V , di kalangan orang-orang yang bermadhhab Aswaja, telah disusun beragam kitab hadis dengan metode dan materi yang beragam. Karena melihat perkembangan hadits sendiri yang sekarang sudah ber era digital maka sudah semestinya kita harus mengetahui bagaimana cara memanfaatkan hal itu, terlebih para akademi-akademisi tersebut sudah sebegitu bersemangat mengembangkan kajian hadits di era digital ini. Peran kita sebagai regenerasi hanyalah memaksimal mungkin dan mengembangkanya guna mengembangkan hirroh kajian hadits menuju era ke-emasan kembali.

DAFTAR PUSTAKA
Alfatih Suryadilaga Muhammad, ‘HADIS DAN PERANNYA DALAM TAFSIR KONTEKSTUAL PERSPEKTIF ABDULLAH SAAED’, 5.2 (2015), hlm. 337 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/paradigma kodifikasi hadis.pdf>
faiqoh lilik, ‘HERMENEUTIKA OTENTISITAS HADIS M. MUSTOFA AZAMI’, 13.2 (2016), hlm. 233 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/HERMENEUTIKA_OTENTISITAS_HADIS_M._MUSTOF.pdf>
Fatkhi, Rifqi Muhammad, ‘DOMINASI PARADIGMA FIKIH DALAM PERIWAYATAN DAN KODIFIKASI HADIS’, XII.2 (1989), hlm. 104 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/kodifikasi hadis masa rasul.pdf>
Jayadi, M, and Kearsipan Khizanah Al-hikmah, ‘Perkembangan Literatur Hadis Pada Masa Awal’, 2015, hlm. 74 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/591-1125-1-PB.pdf>
Khaeruman badri, ‘PERKEMBANGAN HADIS DI INDONESIA PADA ABAD XX Badri Khaeruman’, Ilmu Hadis, 2.105 (2017), hlm. 192 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/perkembangan hadis di Indonesia.pdf>
Maulana, Luthfi, ‘PERIODESASI PERKEMBANGAN STUDI HADITS ( Dari Tradisi Lisan / Tulisan Hingga Berbasis Digital )’, 17.1 (2016), hlm. 120 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/periodesasi perkembangan studi hadis ( dari lisan hingga digital).pdf>
Moh. Muhtador, ‘SEJARAH PERKEMBANGAN METODE DAN PENDEKATAN SYARAH HADIS’, Studi Hadis, 2.2 (2016), hlm. 243 <file:///F:/3130-10266-1-SM.pdf>
Nizar, Muhammad, and Ibn Abdul Aziz, ‘Tadwin Al-Hadith ( Kontribusinya Sebagai Penyempurna Hukum Islam Ke Dua )’, Al-Tsiqoh (Dakwah Dan Ekonomi), 4.1 (2019), hlm. 25 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/tadwin al hadith.pdf>
Rusli, Muhammad, and Nazar Husain Hpw, ‘Problematika Dan Solusi Masa Depan Hadis Dan Ulumul Hadis’, 17.1 (2013), hlm. 128 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/problematika (kodifikasi).pdf>
Zuliyanti Anik, Astutik wuri, Dkk, ‘Proses Kodifikasi Hadits’, 2015, hlm. 4 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/Makalah_PROSES_KODIFIKASI_HADITS (1).pdf>



[1] Zuliyanti Anik, Astutik wuri,dkk ‘Proses Kodifikasi Hadits’, 2015, hlm. 4 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/Makalah_PROSES_KODIFIKASI_HADITS (1).pdf>.
[2] Alfatih Suryadilaga Muhammad, ‘HADIS DAN PERANNYA DALAM TAFSIR KONTEKSTUAL PERSPEKTIF ABDULLAH SAAED’, 5.2 (2015), hlm. 337 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/paradigma kodifikasi hadis.pdf>.
[3] Moh. Muhtador, ‘SEJARAH PERKEMBANGAN METODE DAN PENDEKATAN SYARAH HADIS’, Studi Hadis, 2.2 (2016), hlm. 243 <file:///F:/3130-10266-1-SM.pdf>.
[4] Rifqi Muhammad Fatkhi, ‘DOMINASI PARADIGMA FIKIH DALAM PERIWAYATAN DAN KODIFIKASI HADIS’, XII.2 (1989), hlm. 104 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/kodifikasi hadis masa rasul.pdf>.
[5] Muhammad Rusli and Nazar Husain Hpw, ‘Problematika Dan Solusi Masa Depan Hadis Dan Ulumul Hadis’, 17.1 (2013), hlm. 128 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/problematika (kodifikasi).pdf>.
[6] faiqoh lilik, ‘HERMENEUTIKA OTENTISITAS HADIS M. MUSTOFA AZAMI’, 13.2 (2016), hlm. 233 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/HERMENEUTIKA_OTENTISITAS_HADIS_M._MUSTOF.pdf>.
[7] M Jayadi and Kearsipan Khizanah Al-hikmah, ‘Perkembangan Literatur Hadis Pada Masa Awal’, 2015, hlm. 74 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/591-1125-1-PB.pdf>.
[8] Muhammad Nizar and Ibn Abdul Aziz, ‘Tadwin Al-Hadith ( Kontribusinya Sebagai Penyempurna Hukum Islam Ke Dua )’, Al-Tsiqoh (Dakwah Dan Ekonomi), 4.1 (2019), hlm. 25 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/tadwin al hadith.pdf>.
[9] Luthfi Maulana, ‘PERIODESASI PERKEMBANGAN STUDI HADITS ( Dari Tradisi Lisan / Tulisan Hingga Berbasis Digital )’, 17.1 (2016), hlm. 120 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/periodesasi perkembangan studi hadis ( dari lisan hingga digital).pdf>.
[10] Khaeruman badri, ‘PERKEMBANGAN HADIS DI INDONESIA PADA ABAD XX Badri Khaeruman’, Ilmu Hadis, 2.105 (2017), hlm. 192 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/perkembangan hadis di Indonesia.pdf>.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ilmu Al-Jarh wa Ta’dil : Pengertian, Objek Pembahasan dan Lafaz-lafaz serta Maratib Al-Jarh wan Ta’dil

HADIS MAUDHU : PENGERTIAN, SEJARAH KEMUNCULAN DAN FAKTOR MELATAR BELAKANGINYA, KRITERIA HADIS MAUHDU