SEJARAH KODIFIKASI HADIS: PEMBUKUAN HADIS ABAD II, III, IV, V H DAN SAMPAI SEKARANG
SEJARAH
KODIFIKASI HADIS: PEMBUKUAN HADIS ABAD II, III, IV, V H DAN SAMPAI SEKARANG
A. PENDAHULUAN
Hadis
atau yang lebih dikenal dengan sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber atau
disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan dan
peran hadis sebagai salah satu sumber ajaran islam yang diakui oleh mayoritas
madzhab, tidak dapat dinafikan.
Demikian
keberadaan Alhadis dalam proses tadwin (kodifikasi) nya sangat berbeda dengan
Alquran. Sejarah hadis dan periodesasi penghimpunannya lebih lama dan panjang
masa nya dibandingkan dengan Alquran. Hadis butuh waktu 3 abad untuk pentadwinannya
secara menyeluruh .
Perkembangan
dan pengkodifikasian hadis dibagi menjadi 5 masa yaitu masa Nabi Muhammad Saw,
pada masa sahabat, tabiin, tabi’ tabi’in, dan periode setelah tabi’ tabi’in.
perkembangan hadis pada masa awal lebih banyak menggunakan lisan, dikarenakan
larangan Nabi untuk menulis hadis. Larangan tersebut berdasarkan kekhawatiran
Nabi akan tercampirnya nash Alquran dengan hadis. Selain itu, juga disebabkan
fokus Nabi pada para sahabat yang bisa menulis untuk menulis Alquran. Banyak sekali
lika-liku dalam sejarah pengkodifikasan hadis yang berlangsung pada waktu itu.
B. SEJARAH KODIFIKASI HADIS
At Tadwin atau
Kodifikasi hadits menurut bahasa adalah pendewanan hadits atau pembukuan
hadits. Sedangkan menurut terminologi artinya pengumpulan dan penyusunan
hadits yang secara resmi didasarkan
perintah khalifah dengan melibatkan beberapa personil, yang ahli dalam masalah
ini, bukan yang dilakuan secara peseorangan seperti yang terjadi di masa-masa
sebelumnya. Sebagaimana Al-Qur‟an, hadits
juga mengalami proses panjang dalam pembukuannya.[1]
Adapun yang dimaksud
dengan kodifikasi hadis pada periode ini adalah pembukuan hadis secara resmi
yang diabadikan dalam bentuk tulisan atas perintah seorang pemimpin kepala
Negara dengan melibatkan orang-orang yang mempunyai keahlian dibidangnya. Tidak
seperti kodifikasi yang terjadi pada masa Rasulullah Saw yang dilakukan secara
individu atau untuk kepentingan pribadi.
Perlu pembedaan
antara sunnah dan hadis. Dengan mempertimbangkan ciri konsep sunnah, maka hadis
sangat serupa dengan al-Qur‟an. Di mana,
material hadis harus dipahami dalam konteks praktik aktual Nabi Muh}ammad.
Hadis sahih sangat berpeluang untuk dikritisi jika hadis tersebut dinilai
bertentangan dengan sunnah aktual dan hadis-hadis lainnya.[2] Periode
penulisan dan kodifikasi resmi (permulaan abad ke II H); 5). Periode pemurnian,
penyihatan, dan penyempurnaan (awal abad ke III H – akhir abad ke III H); 6).
Periode penerbitan, pemeliharaan, penambahan, dan penghimpunan (awal abad IV H-
jatuhnya kota Baghdad); 7). Periode penyarahan, perhimpunan, pengtakhrijan,
pembahasan (656 H-sekarang).[3]
Usaha mempelajari
kodifikasi (pembukuan) hadits diharapkan dapat mengetahui sikap diadakan
tindakan umat islam yang sebenarnya, khususnya para ulama ahli hadis, terhadap
hadis serta usaha pembinaan dan pemeliharaan mereka pada tiap-tiap periodenya
sampai akhirnya terwujud kitab-kitab hasil tadwin secara sempurna. Perjalanan
hadis pada tiap-tiap periodenya mengalami berbagai persoalan dan hambatan yang
dihadapinya, yang antara satu periode dengan periode lainnya tidak sama, maka
pengungkapan sejarah persoalannya perlu diajukan ciri-ciri khusus dan
persoalan-persoalan tersebut.
1.
PEMBUKUAN
HADIS PADA ABAD II,III,IV,DAN V H
a. Pembukuan Hadis Pada Abad II H
Secara garis besar, pola penyusunan
kitab Hadis yang berkembang pada kurun waktu abad II H sampai dengan abad IV H
dapat dipolakan menjadi empat bentuk metode penulisan kitab Hadis, yaitu:
sunan, mushannaf, jâmi‘, dan musnad. Tiga model yang pertama pada hakikatnya
berada pada wilayah yang sama yaitu mengakomodasi kepentingan fikih yang memang
menjadi kebutuhan dan lebih dapat diterima masyarakat Islam pada umumnya.
Munculnya kitabkitab Hadis yang bercorak fiqhî mulai abad II H yang kemudian
dikenal dengan sebutan sunan menjadi pertanda menguatnya pengarusutamaan fikih
yang terjadi di kalangan masyarakat Islam pada saat itu. AlKattânî menyebutkan
bahwa sunan adalah kitab Hadis yang disusun berdasarkan urutan tema-tema fikih
dan (secara umum karena faktanya, terdapat beberapa Hadis yang dinilai mawqûf
di dalam kitab-kitab sunan) tidak memuat riwayat-riwayat yang dinilai mawqûf.[4]
Terdorong oleh
kemauan keras untuk mengumpulkan hasil periode awal kodifikasi, pada umumnya
para ulama dalam membukukannya tidak melalui sistematika penulisan yang baik,
dikarenakan usia kodifikasi yang reatif masih muda sehingga mereka belum sempat
menyeleksi antara hadis nabi dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, bahkan
lebih jauh dari itu mereka belum mengklasifikasi hadis menurut
kelompok-kelompoknya. Kitab sunan Imam Malik (92-179 H/ 12-798 M),
al-Muwaththa’ yang merupakan kitab kumpulan atau koleksi hadis paling tua
(disusun pada pertengahan awal abad ke II H.) tidak hanya memuat hadis Nabi
saja tetapi juga fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in.[5]
Perkembangan hadis mulai sejak abad II
Hijriyyah, yakni sejak dikeluarkannya perintahan resmi dari khilafah Umar bin
Abdul Aziz dalam membukukan hadis. Pertama, fase ahli hadis, para ahli dalam
menyusun kitab-kitab hadis juga mengunakan ayat-ayat al-Qur’an, atsar-atsar
sahabat dan tabi’in, di semua kota besar yang masuk dalam daerah Islam ada
ahliahli hadisnya yang terkenal. Kedua, fase sampai awal abad III Hijriyah.
Dalam fase ini kitab-kitab hadis, khusus hanya memuat hadis Nabi saja, mulai
ada. Susunan Hadis yang termaktub dalam beberapa kitab hadis ada yang
berdasarkan nama sahabat periwayat. Ketiga, fase pada abad II Hijriyah dan
seterusnya. Dalam fase ini, merupakan perkembangan hadis lebih kepada
penulisannya, pengkajian dan pembahasan, telah mencapai puncaknya yang
tertinggi. Ilmu-ilmu hadis pada masa ini telah mengalami perkembangan yang
pesat.[6]
Dengan demikian karya ulama pada periode ini
masih bercampur aduk rata hadis dengan fatwa sahabat dan tabi’in, bahwa
kitab-kitab hadis karya ulama-ulama pada masa ini belum dipiah-pilahantara
hadis marfu’ mauquf, dan maqthu’, dan diantara hadis shahih, hasan dan dha’if.
Pada abad II H ini
pula mulai diadakan pemisahan antara hadis tafsir dan hadis padaumumnya, juga
pemisahan hadis sirah dan magaziy. [7]
b. Pembukuan Hadis Pada Abad III H
Abad ke III
merupakan abad didalam periode ke lima. Maka abad ke III H kegiatan pentashihan
hadis Nabi mulai dilakukan dengan sistematis, yakni pembukuan hadis yang
semata-mata hadis Nabi saa, tidak dicampuri dengan fatwa sahabat atau thabi’in.
ulama yang mempelopori kegiatan ini adalah ishaq ibnu rahawaih. Kemudian
dilanjutkan oleh alBukhari, Muslim, Abu Dawud, alTurmudzi, alNas’I, Ibnu majah
dan lain-lain. Dari usaha penyelesian tersebut maka terciptalah pula
syarat-syarat perawai yang terdiri dari berbagai segi, yakni keadilan, tempat,
kediaman, masa dan lain-lain.
Dari
tokoh-tokoh hadits abad ke-3 inilah pada perkembangan berikutnya muncul
ilmuan-ilmuan hadits sekaliber al-Bukhori, al-Darimi, Abu Hatim al-Razi, yang
karena kontribusi intelektual merekalah hadits maupun ilmu hadits maupun ilmu
hadits menemukan elanvital-nya sebagai hasanah pola pikir para cerdik
cendekiawan dimasa- masa berikutnya.
Pada masa
penyeleksian atau penyaringan hadis ini terjadi pada zaman pemerintahan Bani
Abbasiyah, yakni pada masa tadwin belum bisa memisahkan hadis mauquf dan maqtu’
dan hadis marfu’. Mereka kemudian membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk
menentukan apakah hadis itu shahih atau dhaif. Para perawipun tidak luput dari
sasaran penelitian mereka untuk diselidiki kejujurannya, kehafalannya dan lain
sebagainya. Periode ini berlangsung pada masa pemerintahan khalifah Alma’mun
sampai pada awal pemerintahan khalifah Almuqtadir dari kekhalifahan dinasti
abbasuyah. Pada masa ini para ulama memusatkan perhatian mereka pada
pemeliharaan keberadaan dan terutama kemurnian hadis Nabi Saw sebagai
antisipasi mereka terhadap pemalsuan hadis yang semakin marak.
c. Pembukuan Hadis Pada Abad IV dan V H Sampai
Sekarang
Setelah
berakhirnya kodifkasi hadis pada masa atba’ atba’ al tabi’in proses pengumpulan
hadis masih terus berlanjut. Paling tidak abad IV hingga abad V , di kalangan
orang-orang yang bermadhhab Aswaja, telah disusun beragam kitab hadis dengan
metode dan materi yang beragam. [8]
Pada peride
ini dinamakan masa menghafal dan mengisnadkan. Penghimpunan hadis disertai
pemeliharaannya tetap dilakukan walau tidak sebanyak yang sebelumya. Hanya saja
hadis-hadis yang dihimpun tidaklah sebanyak sebelum periode ini. Didalam era
ini jenis kitab-kitab hadis Nabi Saw mencakup sebagian besar kitab-kitab hadis
yang sifatnya mengumpulkan kitab-kitab hadis yang telah dihimpun dalam
kitab-kitab hadis Nabi Saw sebelumnya. Kegiatan hadis pada periode ini banyak
dilakukan dengan cara lisensi atau sertifikat dari guru untuk murid untuk
mendapatkan izin meriwayatkan hadis dan muktabah (pemberian catatan hadis dari
gurunya.
Sepeninggal
periode khalifah Abasiyyah ke XVII Al-Mu’tashim (w. 656 H). Periode hadits
dimasa tersebut dinamakan ‘Ashr al- Syarh wa alJami’ wa Al-Takhrij wa Al-Bahts,
periodesasi hadits memasuki masa pensyarahan, penghimpunan, pentakhrijan, dan
pembahasan. Penulisan ilmu hadis ini berlanjut hingga masuk masa kematangan dan
kesempurnaan pembukuan ilmu hadis pada abad ke VII hingga pada abad ke X. Pada
masa ini, karya-karya seputar ilmu hadis banyak ditulis dan lebih
disederhanakan. Selanjutnya kajian ‘Ulum alHadis mencapai tingkat
kesempurnaannya dengan ditulisnya sejumlah kitab yang mencakup seluruh cabang
ilmu hadis. Bersama itu dilakukan juga penghalusan sejumlah ungkapan dan
penelitian berbagai masalah dengan mendetail. Sebelum beranjak lebih dalam,
penulis akan sedikit mengulas tentang sejarah penamaan dekade kontemporer. Kata
kontemporer merupakan penisbatan pada zaman. Dalam kamus Oxford Learner’s
Pocket Dictionary dijelaskan, ada dua pengertian dari contemporary. Pertama
belonging to the same time (termasuk waktu yang sama), dan yang kedua, of the
present time; modern (waktu sekarang atau modern). Dalam bahasa Indonesia,
kontemporer adalah pada masa kini. Menurut Ahmad Syirbasyi yang dimaksud dengan
periode kontemporer ialah sejak abad ke 13 hijriah atau akhir abad ke-19 Masehi
sampai sekarang ini.
Perkembangan
studi hadits sempat terkendala sejak tahun 656 H hingga 911 H, karena
diakibatkan oleh kejumudan umat Islam hingga waktu itu, sampai akhirnya
perkembangan hadis tahun 656 H hingga 911 H mengalami perkembangan kembali dan
sudah sampai menerbitkan isi kitab-kitab hadis, menyaringnya serta menyusun
kitab-kitab takhrij. Melihat perkembangan Hadits di era sebelumnya yang tidak
begitu signifikan, maka perkembangan hadits mulai di galakan kembali oleh para
ilmuwan hadits dengan sebuah kemasan menarik, hal inilah yang membuat para
ilmuan hadits ingin memasukan kajian hadits dalam era digital hal ini guna
mengembangkan studi hadits di era yang sudah memasuki globalisasi, dengan
mengembangkan keberadaan internet maka tampak hadits akan terlihat menarik, hal
ini sebagaimana melihat manfaat internet yang dapat mempermudah tata kerja dan
mempercepat suatu proses suatu pekerjaan, sehingga segala sesuatu dapat
ditemukan dengan cara praktis dan cepat. [9]
Hal ini, juga telah terdahulu dijelaskan oleh Muhammad alfatih Suryadilaga,
Menurutnya memasuki era kekinian, disaat peradaban manusia sudah berkembang
semakin pesat. Mencermati ungkapan seorang akademi hadits yang produktif di era
pasca milenium tersebut, maka sudah sepatutnya kita sebagai regenarasi
selanjutnya memanfaatkan era global dengan kajian hadits.
Adapun para
ulama hadis Indonesia pada paruh pertama abad XX, menurut catatan Daud Rasyid
Harun, seorang doktor alumni Timur Tengah, bahwa para ulama hadis Indonesia
pada masa kurun awal itu banyak sekali, tercatat sebanyak 69 orang. Namun Daud
Rasyid tidak menjelaskan secara langsung batasan apa yang dipakainya sehingga
seorang ulama itu termasuk ahli hadis. Barangkali Daud Rasyid memakai batasan
yang paling umum tentang kriteria ulama tempo dulu, yang biasanya keluasan
ilmunya sangat mumpuni, yang hampir saja menguasai berbagai cabang keilmuan
Islam yang sangat banyak itu.Misalnya seorang ulama Indonesia tempo dulu itu
bukan saja ahli tafsir dan fiqh, tetapi dia juga sangat menguasai hadis,
walaupun tidak menyebarkan pengetahuannya itu melalui buku-buku yang
ditulisnya, sehingga tercatatlah para ulama ahli hadis di Indonesia sebanyak
itu.[10]
Karena melihat perkembangan hadits sendiri
yang sekarang sudah ber era digital maka sudah semestinya kita harus mengetahui
bagaimana cara memanfaatkan hal itu, terlebih para akademi-akademisi tersebut
sudah sebegitu bersemangat mengembangkan kajian hadits di era digital ini.
Peran kita sebagai regenerasi hanyalah memaksimal mungkin dan mengembangkanya
guna mengembangkan hirroh kajian hadits menuju era ke-emasan kembali.
C. KESIMPULAN
At Tadwin atau
Kodifikasi hadits menurut bahasa adalah pendewanan hadits atau pembukuan
hadits. Sedangkan menurut terminologi artinya pengumpulan dan penyusunan
hadits yang secara resmi didasarkan
perintah khalifah dengan melibatkan beberapa personil, yang ahli dalam masalah
ini, bukan yang dilakuan secara peseorangan seperti yang terjadi di masa-masa
sebelumnya.
Secara garis
besar, pola penyusunan kitab Hadis yang berkembang pada kurun waktu abad II H
sampai dengan abad IV H dapat dipolakan menjadi empat bentuk metode penulisan
kitab Hadis, yaitu: sunan, mushannaf, jâmi‘, dan musnad. Tiga model yang
pertama pada hakikatnya berada pada wilayah yang sama yaitu mengakomodasi kepentingan
fikih yang memang menjadi kebutuhan dan lebih dapat diterima masyarakat Islam
pada umumnya. Munculnya kitabkitab Hadis yang bercorak fiqhî mulai abad II H
yang kemudian dikenal dengan sebutan sunan menjadi pertanda menguatnya
pengarusutamaan fikih yang terjadi di kalangan masyarakat Islam pada saat itu.
AlKattânî menyebutkan bahwa sunan adalah kitab Hadis yang disusun berdasarkan
urutan tema-tema fikih dan (secara umum karena faktanya, terdapat beberapa
Hadis yang dinilai mawqûf di dalam kitab-kitab sunan) tidak memuat
riwayat-riwayat yang dinilai mawqûf.
Abad ke III
merupakan abad didalam periode ke lima. Maka abad ke III H kegiatan pentashihan
hadis Nabi mulai dilakukan dengan sistematis, yakni pembukuan hadis yang
semata-mata hadis Nabi saw, tidak dicampuri dengan fatwa sahabat atau thabi’in.
ulama yang mempelopori kegiatan ini adalah ishaq ibnu rahawaih. Kemudian
dilanjutkan oleh alBukhari, Muslim, Abu Dawud, alTurmudzi, alNas’I, Ibnu majah
dan lain-lain. Dari usaha penyelesian tersebut maka terciptalah pula
syarat-syarat perawai yang terdiri dari berbagai segi, yakni keadilan, tempat,
kediaman, masa dan lain-lain.
Setelah
berakhirnya kodifkasi hadis pada masa atba’ atba’ al tabi’in proses pengumpulan
hadis masih terus berlanjut. Paling tidak abad IV hingga abad V , di kalangan
orang-orang yang bermadhhab Aswaja, telah disusun beragam kitab hadis dengan
metode dan materi yang beragam. Karena melihat perkembangan hadits sendiri yang
sekarang sudah ber era digital maka sudah semestinya kita harus mengetahui
bagaimana cara memanfaatkan hal itu, terlebih para akademi-akademisi tersebut
sudah sebegitu bersemangat mengembangkan kajian hadits di era digital ini.
Peran kita sebagai regenerasi hanyalah memaksimal mungkin dan mengembangkanya
guna mengembangkan hirroh kajian hadits menuju era ke-emasan kembali.
DAFTAR
PUSTAKA
Alfatih Suryadilaga Muhammad, ‘HADIS DAN
PERANNYA DALAM TAFSIR KONTEKSTUAL PERSPEKTIF ABDULLAH SAAED’, 5.2 (2015), hlm.
337 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/paradigma kodifikasi hadis.pdf>
faiqoh lilik,
‘HERMENEUTIKA OTENTISITAS HADIS M. MUSTOFA AZAMI’, 13.2 (2016), hlm. 233
<file:///C:/Users/ACER/Downloads/HERMENEUTIKA_OTENTISITAS_HADIS_M._MUSTOF.pdf>
Fatkhi, Rifqi
Muhammad, ‘DOMINASI PARADIGMA FIKIH DALAM PERIWAYATAN DAN KODIFIKASI HADIS’,
XII.2 (1989), hlm. 104 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/kodifikasi hadis
masa rasul.pdf>
Jayadi, M, and
Kearsipan Khizanah Al-hikmah, ‘Perkembangan Literatur Hadis Pada Masa Awal’,
2015, hlm. 74 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/591-1125-1-PB.pdf>
Khaeruman badri,
‘PERKEMBANGAN HADIS DI INDONESIA PADA ABAD XX Badri Khaeruman’, Ilmu Hadis,
2.105 (2017), hlm. 192 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/perkembangan hadis
di Indonesia.pdf>
Maulana, Luthfi,
‘PERIODESASI PERKEMBANGAN STUDI HADITS ( Dari Tradisi Lisan / Tulisan Hingga
Berbasis Digital )’, 17.1 (2016), hlm. 120
<file:///C:/Users/ACER/Downloads/periodesasi perkembangan studi hadis ( dari
lisan hingga digital).pdf>
Moh. Muhtador,
‘SEJARAH PERKEMBANGAN METODE DAN PENDEKATAN SYARAH HADIS’, Studi Hadis,
2.2 (2016), hlm. 243 <file:///F:/3130-10266-1-SM.pdf>
Nizar, Muhammad, and
Ibn Abdul Aziz, ‘Tadwin Al-Hadith ( Kontribusinya Sebagai Penyempurna Hukum
Islam Ke Dua )’, Al-Tsiqoh (Dakwah Dan Ekonomi), 4.1 (2019), hlm. 25
<file:///C:/Users/ACER/Downloads/tadwin al hadith.pdf>
Rusli, Muhammad, and
Nazar Husain Hpw, ‘Problematika Dan Solusi Masa Depan Hadis Dan Ulumul Hadis’,
17.1 (2013), hlm. 128 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/problematika
(kodifikasi).pdf>
Zuliyanti Anik,
Astutik wuri, Dkk, ‘Proses Kodifikasi Hadits’, 2015, hlm. 4
<file:///C:/Users/ACER/Downloads/Makalah_PROSES_KODIFIKASI_HADITS
(1).pdf>
[1]
Zuliyanti Anik, Astutik wuri,dkk ‘Proses Kodifikasi Hadits’, 2015, hlm. 4
<file:///C:/Users/ACER/Downloads/Makalah_PROSES_KODIFIKASI_HADITS
(1).pdf>.
[2]
Alfatih Suryadilaga Muhammad, ‘HADIS DAN PERANNYA DALAM TAFSIR KONTEKSTUAL
PERSPEKTIF ABDULLAH SAAED’, 5.2 (2015), hlm. 337 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/paradigma
kodifikasi hadis.pdf>.
[3]
Moh. Muhtador, ‘SEJARAH PERKEMBANGAN METODE DAN PENDEKATAN SYARAH HADIS’, Studi Hadis, 2.2 (2016), hlm. 243
<file:///F:/3130-10266-1-SM.pdf>.
[4]
Rifqi Muhammad Fatkhi, ‘DOMINASI PARADIGMA FIKIH DALAM PERIWAYATAN DAN
KODIFIKASI HADIS’, XII.2 (1989), hlm. 104
<file:///C:/Users/ACER/Downloads/kodifikasi hadis masa rasul.pdf>.
[5]
Muhammad Rusli and Nazar Husain Hpw, ‘Problematika Dan Solusi Masa Depan
Hadis Dan Ulumul Hadis’, 17.1 (2013), hlm. 128
<file:///C:/Users/ACER/Downloads/problematika (kodifikasi).pdf>.
[6]
faiqoh lilik, ‘HERMENEUTIKA OTENTISITAS HADIS M. MUSTOFA AZAMI’, 13.2
(2016), hlm. 233
<file:///C:/Users/ACER/Downloads/HERMENEUTIKA_OTENTISITAS_HADIS_M._MUSTOF.pdf>.
[7]
M Jayadi and Kearsipan Khizanah Al-hikmah, ‘Perkembangan Literatur Hadis
Pada Masa Awal’, 2015, hlm. 74
<file:///C:/Users/ACER/Downloads/591-1125-1-PB.pdf>.
[8]
Muhammad Nizar and Ibn Abdul Aziz, ‘Tadwin Al-Hadith ( Kontribusinya Sebagai
Penyempurna Hukum Islam Ke Dua )’, Al-Tsiqoh
(Dakwah Dan Ekonomi), 4.1 (2019), hlm. 25
<file:///C:/Users/ACER/Downloads/tadwin al hadith.pdf>.
[9]
Luthfi Maulana, ‘PERIODESASI PERKEMBANGAN STUDI HADITS ( Dari Tradisi
Lisan / Tulisan Hingga Berbasis Digital )’, 17.1 (2016), hlm. 120
<file:///C:/Users/ACER/Downloads/periodesasi perkembangan studi hadis ( dari
lisan hingga digital).pdf>.
[10]
Khaeruman badri, ‘PERKEMBANGAN HADIS DI INDONESIA PADA ABAD XX Badri
Khaeruman’, Ilmu Hadis, 2.105 (2017),
hlm. 192 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/perkembangan hadis di
Indonesia.pdf>.
Komentar
Posting Komentar