HADIS MAUDHU : PENGERTIAN, SEJARAH KEMUNCULAN DAN FAKTOR MELATAR BELAKANGINYA, KRITERIA HADIS MAUHDU
HADIS MAUDHU : PENGERTIAN,
SEJARAH KEMUNCULAN DAN FAKTOR MELATAR BELAKANGINYA, KRITERIA HADIS MAUHDU
A. PENDAHULUAN
Hadits di atas
lebih menjelaskan kepada kita bahwa al-Quran sebagai kalam Allah al-Bâriy dan
al-Hadits sebagai perkataan, perbuatan, ketetapan dan keseharian Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam adalah dua pedoman hidup yang apabila manusia
memegang teguh keduanya niscaya kebahagiaan serta keselamatan baik di dunia
maupun di akhirat pasti akan tercapai. Lebih jauh lagi Allah al-Hâlim,
memerintahkan umat manusia untuk mentaati Nabi saw tanpa syarat dan menjadikan
hidup beliau sebagai panutan yang sempurna untuk diikuti. Jadi bagi umat Islam
perintahperintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam berdiri di atas dasar yang
sama dengan perintah-perintah Allah al-Khâliq. Segala perintah dan perilaku
pribadi, demikian pula perbuatan-perbuatan yang dilakukan para shahabat yang
beliau setujui secara taqrir, dicatat dan dipraktikkan dengan hati-hati oleh
para sahahabat beliau ridhwanullah alaihim ajma în. Hal tersebut mengantarkan
kepada suatu kesimpulan yang tak dapat terelakkan, bahwa masyarakat muslim
harus mengikuti segala gerak-gerik kehidupan Nabi Muhammad saw.
Berdasarkan
pembagian hadis menurut kualitasnya, hadis terbagi menjadi tiga, yaitu hadis
shahih, hasan dan dha’if. Adapun
pembahasan mengenai hadis maudhu’ termasuk pada kelompok hadis dha’if, yakni
hadis yang lemah karena terdapat kecacatan dalam rawi atau matannya sehingga
memungkinkan hadis tersebut ditolak atau tidak dapat diterima. Perpecahan
politik yang terjadi pada masa Khalifah Ali ibn Abi Thalib juga ikut ambil
dalam munculnya hadis maudhu’ ini. Pada saat itu terbentuk aliran baru dalam
Islam. Golongan-golongan tersebut, selain berusaha saling mengalahkan lawannya,
juga mempengaruhi orang-orang yang tidak berada dalam perpecahan. Salah satu
caranya ialah dengan memalsukan hadis.
B. PENGERTIAN HADIS MAUDU SECARA
HADIS DAN ISTILAH
Al-Ma’udhu
adalah isim maf’ul dari wa-dha-‘a, ya-dha-‘u, wadh-‘an, yang mempunyai arti
al-isqath (meletakkan atau menyimpan); al-iftira’ wa al-ikhtilaq (mengada-ngada
atau membuatbuat); dan al-tarku (ditinggal).
Secara terminologis, beberapa ulama yang
menyatakan pendapatnya, diantaranya Ajjaj Al-Katib mengatakan, “Hadis yang
disandarkan kepada Rasulullah saw secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau
tidak mengatakannya, berbuat ataupun menetapkannya. Berdasarkan pengertian
al-Hadits dan al-Maudhu’ ini, dapat disimpulkan bahwa definisi hadits maudhu’
adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik perbuatan,
perkataan, taqrir, dan sifat beliau secara dusta. Lebih tepat lagi ulama hadits
mendefinisikannya sebagai apa-apa yang tidak pernah keluar dari Nabi SAW baik
dalam bentuk perkataan, perbuatan atau taqrir, tetapi disandarkan kepada beliau
secara sengaja.[1]
Hadits Maudhu’
pada hakikatnya bukanlah sebuah hadits, karena statemen dari si pembuat hadits
itulah, kemudian dikatakan dia sebagai hadits meskipun palsu. Dinamakan hadits juga
dalam rangka mempraktiskan kerja ulama hadits untuk menyelidikinya lebih
mendalam lagi.
Hadis maudhu’
disebut juga hadis palsu, karena hadis ini dibuat dengan tujuan-tujuan tertentu
dan menyandarkan hadis tersebut kepada rasul padahal rasul sendiri tidak pernah
mengatakan ataupun melakukannya. Hadis ini dibuat karena beberapa alasan,
misalnya karena kepentingan poltik, memperkuat perbedaan pendapat dalam masalah
fiqih atau ilmu kalam ataupun beberapa alasan lain yang digunakan untuk
kepentingan mereka sendiri ataupun alirannya sendiri. kan huruf
hijaiyah adalah al-maudhuah al-kubrah karya Syekh Ali al-Qari al-Harawi, dan
kitab yang disusun berdasarkan bab-bab fikih adalah Tanzihu syari’ah
al-Marfu’ah anil ahadits syaniyah al-maudhu’ah karya Abul Hasan Ali bin Mu-
hammad bin Iraq al-Kinany.[2] Kendati antara
hadis yang sahih dan tidak sahih dapat dibedakan, namun hadis-hadis Nabi, baik
yang berkualitas sahih, hasan, dha‟if,
maupun hadis maudhu‟ (palsu) dalam
realitasnya telah banyak tersebar di tengah-tengah masyarakat. Hal ini tentu saja akan “mengeroposi” kemurnian ajaran
“keliru” dalam mempraktekkan ajaran
Islam, bila tidak selektif dan tidak
mengetahui kualitas hadis Nabi yang dipahami dan diamalkannya tersebut.[3]
Hadis maudhu’
dapat diidentifikasi keberadaannya dengan mengetahuinya berdasarkan
metode-metode tertentu, misalnya mengetahui ciri-ciri yang terdapat pada sanad
dan matannya.
C. SEJARAH KEMUNCULAN DAN FAKTOR
MELATAR BELAKANGINYA
Sejarah dan
liku-liku perjalanan hadis, ketika hadis melintasi era gelap (hadis maudhu')
juga diungkap oleh ulama hadis, karena itu para orientalis dapat mengetahui
semua data itu.[4]
Adapun latar
belakangnya hadis maudhu’ tersebut hakikatnya adalah pembelaan atau pembencian
terhadap suatu golongan tertentu. Terdapat pula penyebutan perkataan yang bukan
hadis dengan istilah hadis lalu disandarkan kepada kata maudhu’ yaitu hadis
maudhu’ atau hadis palsu.[5] Sebagian Hadis
memang ada yang palsu, tetapi masih banyak Hadis yang shahih bahkan banyak pula
Hadis mutawartir. Hadis yang dijadikan hujah atau dasar dalam beragama adalah
Hadis shahih dan mutawatir, bukan Hadis palsu. Menyikapi terhadap adanya hadis
maudhu’ sangat beragam, ada sekelompok orang yang menyikapinya dengan menerima
tanpa pertimbangan tertentu, ada pula yang menerimanya dengan berbagai catatan
tertentu, bahkan ada pula yang tidak menerimanya sama sekali.
Para ulama
ahli Hadis telah meneliti Hadis-hadis yang beredar di berbagai kitab Hadis dan
telah ditemukan manaa Hadis yang shahih dan mana yang maudhu’. Hadis maudhu’pun
telah dihimpun dalam satu buku sehingga
umat mengetahui dan membedakan antara maudhu’ dan yang bukan maudhu’.[6] Begitu juga
dalam al-Jami’ banyak terdapat hadits-hadits maudhu’ (palsu). Padahal As Suyuthi
berkata dalam pendahuluan kitab itu: “Dan saya menjaganya dari hadits-hadits yang
hanya diriwayatkan oleh perawi-perawi palsu dan dusta.” Syaikh Muhammad Nashiruddin
al-Albani pernah menghitung hadits-haditsnya yang maudhu’ hingga mencapai
kurang lebih 1000 hadits.
Munculnya
hadits palsu, dilatarbelakangi karena adanya perselisihan dan konflik pollitik
sectarian dalam Islam. Pertikaian antara pengikut sekte-sekte tersebut ingin
mempertahankan kelompok masingmasing dengan menjadikan al-Qur’an dan hadits
Nabi saw sebagai penguat hujjah mereka, dan apabila al-Qur’an dan Sunnah mereka
pandang belum cukup mampu menguatkan hujjah mereka, maka mereka membuat
hadits-hadits palsu agar maksud dan tujuan mereka tercapai.[7]
Para ulama
berbeda pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan hadis. Berikut ini
akan dikemukakan pendapat mereka, yakni:
1. Menurut Ahmad Amin, bahwa
hadis maudhu’ telah terjadi pada masa Rasulullah SAW masih hidup. Alasan yang
dijadikan argumentasi adalah sabda Rasulullah:
“Bagi siapa yang secara sengaja
berdusta kepada ku, maka hendaknya dia mengambil tempat di neraka,” (HR Ibnu
Majah). Menurutnya, dengan dikeluarkan sabda tersebut, Rasulullah SAW mengira
telah ada pihak-pihak yang ingin berbuat bohong padanya. Oleh karena itu, hadis
tersebut merupakan respon terhadap fenomena yang ada saat itu, yang berarti
menggambarkan bahwa kemungkinan besar pada zaman Rasulullah telah terjadi
pemalsuan hadis, sehingga beliau mengancam kepada para pihak yang membuat hadis
palsu.
2. Shalah Al-Din Ad-dhalabi
mengatakan bahwa pemalsuan hadis berkenaan dengan masalah keduniaan telah
terjadi pada masa Rasulullah SAW. Alasan yang dia kemukakan adalah hadis
riwayat Al-Thahawi (w. 321 H/933 M) dan Al-Thabrani (w. 360 H/971 M). Dalam
hadis tersebut dikatakan bahwa pada masa nabi ada seseorang telah membuat
berita bohong mengatasnamakan nabi. Dalam hadis ini, baik yang diriwayatkan
Thahawi atau AlThabrani ternyata sanadnya lemah (dha’if), sehingga kedua
riwayat tersebut tidak dapat dijadikan dalil.
3. Menurut jumhur muhaddisin
bahwa pemalsuan hadis itu terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.
Mereka beralasan bahwa keadaan hadis sejak zaman Nabi hingga sebelum terjadinya
pertentangan antara Ali bin Abu Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sofyan masih
terhindar dari pemalsuanpemalsuan. Zaman nabi tidak mungkin terjadi pemalsuan hadis.
Sedangkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab dan
Usman bin Affan juga belum terjadi pemalsuan hadis. Hal ini dapat dibuktikan
betapa gigih, hati-hati, dan waspada mereka terhadap hadis. Dalam sejarah
dikatakan bahwa yang pertama-tama membuat hadis palsu adalah golongan Syia’ah
dan yang paling banyak di antara mereka adalah dari golongan Syi’ah Rafidhah.
Faktor yang
Melatarbelakangi Timbulnya Hadis Maudhu’. Ada beberapa motif yang mendorong
mereka membuat hadis palsu, antara lain adalah:
1). Pertentangan politik
Perpecahan politik yang terjadi antara pemerintah Ali dengan Muawiyah
berpengaruh terhadap kemuculan hadis-hadis maudhu’. Masing-masing golongan
berusaha mengalahkan lawan dan mempengaruhi orang-orang dengan membawabawa
Al-Qur’an dan sunnah. Mereka saling menyerang dengan menciptakan hadis-hadis
palsu.
2). Usaha kaum Zindiq
Golongan
Zindiq adalah golongan yang berusaha merusak Islam dari dalam, dengan
berpura-pura masuk Islam. Mereka tidak mungkin melampiaskan kebencian melalui
pemalsuan AlQur’an karena Al-Qur’an terpelihara secara mutawatir, maka yang
paling memungkinkan ialah melalui pemalsuan hadis. “Demi Allah, saya telah
membuat hadis palsu sebanyak 4.000 hadis”, kata Abdul Karim bin Auja’, Wali
wilayah Bashrah, ketika ia mau dihukum mati oleh Muhammad bin Sulaiman. Hammad
bin Zaid melaporkan bahwa Hadis yang dibuat kaum Zindiq ini berjumlah 12.000
hadis.
3). Membangkitkan gairah
beribadah
Ini dilakukan
terutama oleh ahli tasawuf. Melalui hadis Targhib dan Tarhib, mereka membuat
hadis palsu dengan tujuan agar bisa lebih dekat dengan Allah serta menjunjung
tinggi agama-Nya. Mereka mengatakan “Kami berdosa sematamata untuk menjunjung
tinggi nama Rasulullah dan bukan sebaliknya.” Ghulam al-Khail (dikenal sebagai
ahli zuhud) membuat hadis tentang keutamaan wirid dengan bermaksud memperhalus
kalbu manusia.
4). Memperoleh fasilitas duniawi
Giyas bin
Ibrahim merupakan tokoh yang banyak ditulis dalam kitab hadis sebagai pemalsu
hadis agar dapat hadiah dari Khalifah al-Mahdi. Khalifah yang senang memelihara
burung itu memberinya hadiah 10000 dirham lantaran dalam hadisnya ditambahkan
kata-kata “perlombaan burung”.
5). Perselisihan dalam masalah
fiqih dan ilmu kalam
Munculnya
hadis-hadis palsu dalam masalah Fiqh dan Ilmu Kalam ini berasal dari pengikut
mazhab. Mereka berani memalsukan hadis karena didorong sifat fanatik dan ingin
menguatkan mazhabnya masing-masing.
6). Pemalsuan tanpa sengaja
Hal ini
dilakukan oleh orang dengan tanpa sengaja menyandarkan kepada Nabi padahal
kata-kata itu diucapkan oleh sahabat atau tabi’in. penyebab lainnya adalah rawi
yang daya hafalnya terganggu atau kitabnya rusak sehingga ia meriwayatkan hadis
yang tidak dikuasainya. Tafsir pun demikian, aneka ragam model penafsiran yang
ditawarkan oleh para ulama misalnya metode tajzi’i atau tahliliy, begitu juga
dengan metode tafsir maudhui (tematik).[8]
Kata al-Maudu'
kadang-kadang diartikan sebagai kebohongan semata kepada. Rasulullah saw, juga
diartikan sebagai praktik yang amat lugas dalam rangka memasukkan berbagai
kebohongan dalam hadis Nabi saw. Berdasarkan kedua makna ini, kita dapat
mengkompromikan dua pendapat mengenai awal mula munculnya praktik permalsuan,
apakah sejak -masa. Nabi saw- atau reda masa akhir kindufa'al-Rashidin. Bila
kita memahami kata al-illfaudu' dengan makna pertama, maka praktik pemalsuan
hadis telah terjadi sejak masa Nabi saw.
D. KRITERIA HADIS MAUDU
Ciri-ciri yang terdapat pada
sanad :
1) Pengakuan sendiri dari hadis
maudu’. Maisarah ibn Abd Rabbith al-Farisi mengaku bahwa ia telah membuat hadis
palsu tentang keutamaan-keutamaan al-Qur’an. Pembuat hadis palsu tentang
keutamaan al-Qur’an juga dibuat oleh Nuh bin Abi Maryam.
2) Tidak sesuai dengan fakta
sejarah. Misalnya, Mamun ibn Ahmad al-Hawari, mengaku mendengar hadis dari
Hisyam ibn Hammar. Fakta sejarah menunjukkan bahwa antara murid dengan gurunya
tidak sezaman dan tidak pernah berjumpa.
Ciri-ciri yang terdapat pada
matan :
1) Susunan kalimatnya kacau
(rancu). Kalimat rancu, tidak luwes (pantas), tidak mungkin diucapkan oleh
seorang sangat fasih seperti Nabi.
2) Matan-nya bertentangan dengan
akal sehat, al-Qur’an dan Hadis yang lebih kuat.
3) Matan-nya menyebutkan janji
yang sangat besar atau perbuatan yang sangat kecil atau ancaman yang sangat
besar atas perkara kecil.
Namun demikian, perlu ditegaskan
bahwa meneliti kandungan matan disini, lebih banyak dihadapkan kepada matan
hadis lainnya yang memiliki kesamaan tema. Untuk tujuan ini, makatakhrіj
al-hadіs bi al-maudhu‟ adalah suatu
kegiatan yang harus dilakukan. Setelah ditemukan matan hadis yang memiliki tema
permasalahan yang sama, paling tidak ada dua kemungkinan hasil yang ditemukan,
yaitu:
(1) adanya kandungan matan hadis
yang sejalan dan;
(2) adanya kandungan matan yang
tidak sejalan atau tampak bertentangan.
Karakteristik hadis palsu menurut
Musthafa Al sibai dapat dapat ditinjnau dari 2 dimensi yaitu kepalsuan dalam
sanad nya dan kepalsuan dalam matannya.[9]
Untuk kemungkinan
yang disebutkan pertama, tidak terlalu banyak yang harus dilakukan dalam kritik
matan selanjutnya, namun jika ditemukan kemungkinan yang disebutkan kedua, maka
kegiatan penelitian masih harus dilakukan. Untuk menghindari terjerumusnya pada
perkara yang tidak ringan itu, kaum muslimin hendaknya serius mendeteksi
hadits-hadits palsu. Sebab hadits tersebut terus sudah banyak beredar di
kalangan umat Islam khususnya di tanah air. Jika tidak, akan banyak umat Islam
yang terpedaya oleh janji-janji kosong yang disebarkan oleh golongan yang tidak
bertanggung jawab.
Maka dapat
dikelompokan menjadi empat kelompok. pertama, ada yang karena sengqa, kedua,
ada yang tidak sengaja merusak agama, ketiga, ada yang karena keyakinannya
bahwa membuat hadits palsu diperbolehkan, dan keempat, ada yang tidak tau bahwa
dirinya membuat hadits palsu. Dapat juga dikatakab bahwa berdasar.kan beberapa
motif diatas ada yang membuat hadits palsu dengan tujuan positif dan adq juga
yang membuat hadits palsu dengan tujuan negatif. Namun, menurut hemat penulis
apapun alasannya tetap saja membuat hadirs palsu ridak diperbolehkan.[10]
Sebagaimana para ulama telah menentukan ketentuan dalam menilai suatu hadits,
apakah hadits itu shahih, hasan, atau dha.il, rnereka juga membuat kaida untuk
menetapkan suatu hadits itu palsu atau tidak. Diantaranya, mereka menetapkan
beberapa criteria hadits maudhu', baik dari segi sanad maupun matannya.
E. KESIMPULAN
Hadis maudhu
adalah hadis yang diada-adakan, dibuat, dan didustakan seseorang dengan
mengatasnamakan Rasulullah SAVy' untuk mendongkrak kepentingan individu antar
golongan. Hadits Maudhu’ pada hakikatnya bukanlah sebuah hadits, karena
statemen dari si pembuat hadits itulah, kemudian dikatakan dia sebagai hadits
meskipun palsu. Dinamakan hadits juga dalam rangka mempraktiskan kerja ulama
hadits untuk menyelidikinya lebih mendalam lagi.
Hadis maudhu’
disebut juga hadis palsu, karena hadis ini dibuat dengan tujuan-tujuan tertentu
dan menyandarkan hadis tersebut kepada rasul padahal rasul sendiri tidak pernah
mengatakan ataupun melakukannya. Adapun latar belakangnya hadis maudhu’
tersebut hakikatnya adalah pembelaan atau pembencian terhadap suatu golongan
tertentu. Terdapat pula penyebutan perkataan yang bukan hadis dengan istilah
hadis lalu disandarkan kepada kata maudhu’ yaitu hadis maudhu’ atau hadis
palsu. Sebagian Hadis memang ada yang palsu, tetapi masih banyak Hadis yang
shahih bahkan banyak pula Hadis mutawartir. Hadis yang dijadikan hujah atau
dasar dalam beragama adalah Hadis shahih dan mutawatir, bukan Hadis palsu.
Menyikapi terhadap adanya hadis maudhu’ sangat beragam, ada sekelompok orang
yang menyikapinya dengan menerima tanpa pertimbangan tertentu, ada pula yang
menerimanya dengan berbagai catatan tertentu, bahkan ada pula yang tidak
menerimanya sama sekali.
DAFTAR
PUSTAKA
Adynata, ‘STUDI
HADIS-HADIS MUKHTALIF TENTANG MENGUMUMKAN KEMATIAN (AL-NA’Y)’, USULUDDIN,
23.1 (2015), hlm. 41 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/Folder baru
mendeley/1083-5519-1-PB.pdf>
Alamsyah, ‘PEMALSUAN
HADIS DAN UPAYA MENGATASINYA’, Al Hikmah, XIV.2 (2013), hlm. 199
<file:///C:/Users/ACER/Downloads/Folder baru mendeley/402-723-1-PB.pdf>
fitriyani, ‘Hadis
Maudhu’, Studi Pendidikan Islanr, II.1 (2013), hlm. 188
<file:///C:/Users/ACER/Downloads/Folder baru mendeley/Folder baru
mendeley/3217-Article Text-8790-1-10-20180808.pdf>
Khon, Abdul Majid,
‘PAHAM INGKAR SUNAH DI INDONESIA ( STUDI TENTANG PEMIKIRANNYA )’, 23.1 (2012),
hlm. 71 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/Folder baru
mendeley/1759-4584-1-SM.pdf>
Kuswadi, Edi, ‘Hadits
Maud Hu’ Dan Hukum Mengamalkannya’, Pemikiran Dan Pendidikan Islam, 6.1
(2016), hlm. 81 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/Folder baru mendeley/Folder
baru mendeley/2895-Article Text-7652-2-10-20170710.pdf>
Mohamad, S. Rahma,
‘KAJIAN MATAN DAN SANAD HADITS DALAM METODE HISTORIS’, Al Syir’ah, 8.2
(2010), hlm. 431 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/Folder baru
mendeley/15-27-1-SM.pdf>
Nor, Salam, ‘KONSEP
NUSYUZ DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN (SEBUAH KAJIAN TAFSIR MAUDHU’I)’, Syariah
Dan Hukum, 7.1 (2015), 47–56 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/Folder
baru mendeley/3511-10039-1-SM.pdf>
nur afrizal,
‘Kontribusi Dan Peran Ulama Mencegah Hadits Maudhu ’’, An Nida, 38.2
(2013), hlm. 70 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/Folder baru mendeley/Folder
baru mendeley/334-637-1-SM.pdf>
Supian, Aan, ‘KUALITAS
HADIS-HADIS DALAM KHUTBAH JUMAT DI KOTA BENGKULU (Studi Kritik Sanad Dan
Matan)’, Manhaj, 4.1 (2014), hlm. 5
<file:///C:/Users/ACER/Downloads/HADIS SEGI KUALITAS.pdf>
Zubn’, MA.,
‘AUTENTISITAS DAN OTORITAS HADIS DALAM KEILMUAN ULAMA MUSLIM DAN SARJANA
BARAT’, TARJIH, 2.7 (2004), hlm. 10
<file:///C:/Users/ACER/Downloads/Folder baru mendeley/Folder baru
mendeley/56-107-1-SM.pdf>
[1]Edi Kuswadi, ‘Hadits Maud Hu’ Dan Hukum Mengamalkannya’, Pemikiran Dan Pendidikan Islam vol, 6,
no. 1 (2016), hlm. 81 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/Folder baru mendeley/Folder
baru mendeley/2895-Article Text-7652-2-10-20170710.pdf>.
[2]S. Rahma Mohamad, ‘KAJIAN MATAN DAN SANAD HADITS DALAM METODE HISTORIS’, Al Syir’ah, vol. 8, no. 2 (2010), hlm. 431 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/Folder
baru mendeley/15-27-1-SM.pdf>.
[3]Aan Supian, ‘KUALITAS HADIS-HADIS DALAM KHUTBAH JUMAT DI KOTA BENGKULU
(Studi Kritik Sanad Dan Matan)’, Manhaj,
vol. 4, no. 1 (2014), hlm. 2 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/HADIS SEGI
KUALITAS.pdf>.
[4]MA. Zubn’, ‘AUTENTISITAS DAN OTORITAS HADIS DALAM KEILMUAN ULAMA MUSLIM
DAN SARJANA BARAT’, TARJIH, Vol. 2,
no. 7 (2004), hlm. 10 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/Folder baru
mendeley/Folder baru mendeley/56-107-1-SM.pdf>.
[5]Adynata, ‘STUDI HADIS-HADIS MUKHTALIF TENTANG MENGUMUMKAN KEMATIAN
(AL-NA’Y)’, USULUDDIN, vol. 23, no. 1,
(2015), hlm. 41
<file:///C:/Users/ACER/Downloads/Folder baru
mendeley/1083-5519-1-PB.pdf>.
[6]Abdul Majid Khon, ‘PAHAM INGKAR SUNAH DI INDONESIA ( STUDI TENTANG
PEMIKIRANNYA )’, vol. 23, no. 1, (2012), hlm. 71
<file:///C:/Users/ACER/Downloads/Folder baru
mendeley/1759-4584-1-SM.pdf>.
[7]nur afrizal, ‘Kontribusi Dan Peran Ulama Mencegah Hadits Maudhu ’’, An Nida, vol. 38, no. 2 (2013), hlm. 70
<file:///C:/Users/ACER/Downloads/Folder baru mendeley/Folder baru
mendeley/334-637-1-SM.pdf>.
[8]Salam Nor, ‘KONSEP NUSYUZ DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN (SEBUAH KAJIAN TAFSIR
MAUDHU’I)’, Syariah Dan Hukum, vol. 7,
no .1, (2015), 47–56
<file:///C:/Users/ACER/Downloads/Folder baru
mendeley/3511-10039-1-SM.pdf>.
[9]Alamsyah, ‘PEMALSUAN HADIS DAN UPAYA MENGATASINYA’, Al Hikmah, vol. XIV, no. 2, (2013), hlm. 199
<file:///C:/Users/ACER/Downloads/Folder baru mendeley/402-723-1-PB.pdf>.
[10]fitriyani, ‘Hadis Maudhu’, Studi
Pendidikan Islanr, vol.II, no. 1 (2013), hlm. 188 <file:///C:/Users/ACER/Downloads/Folder
baru mendeley/Folder baru mendeley/3217-Article
Text-8790-1-10-20180808.pdf>.
Komentar
Posting Komentar